Secangkir Rahasia dalam Ritual Sebelum Pisah

“Andai saja aku bisa menahan kepulanganmu sedikit lebih lama,” ujarnya sesaat setelah aku pamit.

“Buatkan aku secangkir kopi,” jawabku sekenanya.

“Baiklah. Lain kali, kalau begitu. Bagaimana kalau untuk kali ini, kupesankan kopi dari warung depan?”

“Boleh.”

Sejak itu, kami akan selalu punya ‘ritual sebelum pisah’. Duduk di teras sambil bertukar cerita tentang hidup dan remeh-temeh keseharian.

Kadang, di waktu-waktu seperti itu, aku merasa seolah baru saja tiba. Lucu, karena hal-hal yang seharusnya penting, justru baru dibahas bersama di situ.

Aku dengan kopi buatannya. Dia dengan teh hangat kesukaannya. Selalu ada kretek. Sesekali ada camilan.

*
Rasa kopi pertama yang diseduhnya hanya aku dan Tuhan yang tahu.

Ketika dia bertanya dengan mata berbinar tentang bagaimana rasa kopi buatannya, aku mencoba sekuat tenaga mengencangkan perut agar tidak tertawa.

Mirip rasa air kolam yang masuk ke mulut saat berenang di Arcici. Sungguh!

Dari raut wajahnya, aku tahu dia menyesal karena tak pernah belajar menyeduh kopi sebelumnya.

Mungkin karena ia tak pernah menyangka akan dipertemukan garis tangan dengan lelaki yang lahir dan dibesarkan di naungan rumpun Robusta dan Arabika.

“Lumayan,” jawabku ketika itu. “Selalu ada yang pertama untuk segala sesuatu, bukan?”

Itu tidak membuatnya lega. Ia tampak gusar ketika aku pamit tak lama setelahnya. Setelah dua tarikan kretek.

*
Beberapa kali setelahnya, rasa kopinya masih nano-nano. Kalau dirangkum dalam satu kata, ada istilah di kampungku yang bisa membahasakannya: mecik saki, terasa seperti manis keringat.

Tetapi, aku bertahan sedikit lebih lama dibanding ritual yang pertama.

Selain untuk menghargai usahanya yang telah menyeduhkan kopi dengan sepenuh niat, ia selalu punya cara dan pesona yang membuatku bertahan di teras.

Di masa-masa itulah aku tahu, ia tak kenal dapur. Setidaknya, ia jarang terlibat dalam urusan masak-memasak dan seduh-menyeduh sebelumnya.

“Trus, bisanya masak apa?” tanyaku was-was.

“Masak aerrr..rr…” jawabnya dengan jenaka.

Dan, kami terbahak-bahak bersama setelahnya. Ah …

*
Sekarang, dia sudah ahli. Setingkat barista malah. Entah bagaimana. Tampaknya, resep menyeduhkan kopi yang pas di lidah akan jadi rahasia yang disimpannya rapat-rapat.

Sama dengan rahasia yang disimpannya tentang cara mengukir alis, tersimpan rapat entah di mana.

Konon katanya, jangan coba-coba membongkar rahasia alis wanita, apalagi membongkar lengkungan alis yang telah diukir rapi di wajahnya. Bisa-bisa Anda akan kehilangan kepala. Haha!

Aku juga tak pernah bertanya. Hanya memuji dengan ungkapan terima kasih yang tulus.

Ya. Tulus sejak usahanya menyuguhkan air kolam, mecik saki, dan sekian percobaan yang selalu berhasil membuat perutku melilit setiba di rumah.

Mengingat itu kadang membuatku senyam-senyum sendiri. Aihh.. Inikah yang dinamakan bahagia?

*
“Kenapa kopi?” tanyanya tiba-tiba dalam satu kesempatan ‘ritual sebelum pisah’.

“Kata orang-orang di kampung, biar nanti bisa punya anak laki-laki,” jawabku sekenanya.

Aku tahu, dia tidak puas dengan jawaban itu. Di hari ini pun, sepertinya dia masih bertanya-tanya.

Biarlah begitu.

Biarlah jawaban atas‘kenapa kopi?’ kusimpan sendiri. Rapat-rapat.

Secangkir Rahasia dalam Ritual Sebelum Pisah
Exit mobile version