Baileys, Songke, dan Oleh-oleh dari Luar Kota

Kemanapun dia pergi, pertanyaan yang sama akan selalu dititipkannya begitu menginjakkan kaki di kota lain: “Aku baru tiba di sini. Kamu mau dibawain oleh-oleh apa?”

Selalu begitu.

Jawabanku akan selalu sama. “Tidak perlu. Oleh-oleh cerita saja akan sudah lebih dari cukup.”

Bukan karena aku tak suka dibawakan oleh-oleh. Aku hanya tidak terbiasa. Terbiasa untuk memikirkan hal lain selain pekerjaan, sesaat setelah tiba di luar kota.

Datang. Penginapan. Kerja. Pulang. Selesai.

Logikaku selalu sama. Setiap kali pergi pun akan selalu begitu. Entah itu sehari, beberapa hari, atau cuma semalam, ketika orang-orang rumah dititipkan pesan: “Saya keluar, sebentar.”

Tidak untuknya. Dia akan selalu berkabar, tanpa ditanya. Juga akan selalu menanyakan pertanyaan yang sama: “Aku baru tiba di sini. Kamu mau dibawain oleh-oleh apa?”

*
Setiap kali, meskipun telah diberi jawaban “tidak perlu”, dia akan selalu punya cara.

“Di sini ada kopi enak, lho”  atau “Nanti kalau ada barang yang bagus di tempat souvenir, aku coba liat-liat ya.”

Selalu begitu.

Dia pun tak pernah meminta, kalau kebetulan tahu aku sedang di luar kota. Juga tak pernah kecewa kalau aku pergi, atau pulang, tanpa pernah berbagi cerita, apalagi membawakan oleh-oleh.

Lama-lama, aku jadi malu sendiri. Juga, merenung sendiri. Tentang oleh-oleh.

Ketika dia akan selalu membawa pulang sesuatu, tanpa pernah diminta. Ketika dia akan selalu memberi dengan tulus, tanpa mengharapkan ongkosnya diganti.

Entah bagaimana, aku lantas terbiasa.

Terbiasa untuk menyelipkan namanya dalam doa, setiap kali ia berkabar tentang tugas di luar kota. Semoga tugasnya berhasil baik, juga kembali ke Ibukota dengan selamat.

Setidaknya, itu yang bisa kulakukan untuk ‘melunasi’ ongkos oleh-olehnya.

Juga jadi terbiasa menebak: kira-kira dia akan membawa oleh-oleh apa kali ini, meski telah dibilang  “tidak perlu”.

Haha! Dassarr!!

*
Suatu ketika, ia kembali berkabar. Bahwa dia sedang di luar kota. Di negeri seberang. Lagi-lagi, ia menanyakan pertanyaan yang sama. “Kamu mau dibawain oleh-oleh apa?”

Untuk pertama kalinya, saat itu, aku berani meminta. “Baileys, kalau boleh.”

Ya, Baileys. Minuman beralkohol yang dibuat dari campuran wiski Irlandia, krim, gula dan kakao.

Aku bukan peminum. Juga bukan pemabuk. Tetapi, kalau ada minuman yang pernah membuatku jatuh cinta, itu Baileys. Hanya itu.

Dia tahu. Juga tidak mengiyakan, atau bertanya lagi. Hanya mengirimkan tiga emoticon senyum, seperti biasanya.

Selang beberapa waktu kemudian, dia pulang. Dengan sebotol Baileys besar dan sekeranjang cerita tetang perjalanannya ke luar kota, ke negeri seberang.

Sambil mendengarnya bercerita, aku sadar bahwa selama dia pergi, aku tidak mendoakannya. Tidak juga menebak-nebak, apa yang akan dibawanya pulang sebagai oleh-oleh.

Sambil mendengarnya bercerita, aku juga ingat bahwa kemarin aku sudah meniatkan, jika benar Baileys yang dibawanya sebagai oleh-oleh, aku akan membawakannya Songke saat pulang dari Ruteng nanti.

Karena ada pepatah, if you deserve something, you have earned the right to it.

Baileys, Songke, dan Oleh-oleh dari Luar Kota

*Foto Ilustrasi – Instagram @verlon_kana

Exit mobile version