Teman-teman seangkatan tahu, tulisan saya cukup baik. Mereka juga tahu, huruf saya tidak sebaik itu.
Seperti cacing menari, kata guru Bahasa Indonesia kami semasa SMA.
Sampai sekarang, masih. Itu kenapa, penemuan mesin tik dan komputer adalah berkat teknologi yang tak usai saya syukuri. Keduanya membuat tulisan saya bisa dibaca dengan lebih baik, oleh lebih banyak orang.
Dulunya tidak begitu. Saya bahkan harus meminta kesediaan sahabat baik saya, almarhum Choise Lemorai untuk menuliskan surat kores kepada seorang teman di SMANSA, Ruteng.
Berjalan cukup lama, sampai akhirnya saya jujur, tulisan dalam surat-surat yang dibacanya bukan huruf saya. Korespondensi kami sempat terhenti sekian lama, setelahnya. Ahh..
Ada dua hal, ternyata. Rupanya, karena saya berpikir lebih cepat ketimbang menulis. Juga, karena saat harus menuliskan hal-hal penting, jemari saya bergetar dengan sendirinya. Yang pertama saya ketahui belakangan, setelah berkonsultasi dengan seorang sahabat. Yang kedua sudah amati sendiri sejak lama, sejak kecil.
Jemari yang bergetar juga sempat menjadi masalah saat saya berlatih menembak. Sering melesat jauh dari sasaran. Itu pertamakalinya saya merasa insecure dengan teman seangkatan; merasa kalah dan khawatir harus dipulangkan lebih awal.
Benar. Saya akhirnya pulang duluan, tetapi bukan karena tidak sanggup. Justru karena dinilai lulus lebih cepat dari yang lain. Itu berkat nasihat seorang mentor yang memahami kesulitan saya di masa-masa latihan, soal masalah jari-jemari.
“Menembak itu mudah, Bet. Yang sulit adalah memilih sasarannya.”
Adiós, Señor*