My book, tidak hanya disebut dengan Bukumu, tetapi: Saya punya buku.
Your name, tidak hanya diartikan dengan Namamu, tetapi: Kau punya nama.
His girlfriend, tidak hanya diterjemahkan menjadi Pacarnya, tetapi: Dia punya pacar.
Ya, begitu persis. Hanya saja, proses penerjemahan itu akan gagap ketika bertemu dengan kata-kata seputar ‘mantan’. Misalnya:
Her ex-husband, tidak hanya jadi Mantan suaminya, tetapi: Dia punya mantan suami. Atau,
His ex-girlfriend, tidak hanya jadi Mantan pacarnya, tetapi: Dia punya mantan pacar.
Mantan adalah kata yang menjelaskan kata lain. Semacam kata ganti milik yang, entah bagaimana, menjadi kata benda.
Kata mantan ketika dilekatkan pada kata pacar misalnya, akan menjadi mantan pacar. Maknanya lantas akan menjadi: Pacar yang pernah menjadi milik seseorang.
Ketika kata ‘mantan’ dipakai dalam terjemahan menggunakan dialek Manggarai, pemaknaannya akan jadi membingungkan. Misalnya:
Her ex-boyfriend akan menjadi Dia punya mantan pacar. Terjemahan itu akan menjadi rancu, karena akan dimaknai sebagai: Dia punya pacar yang tidak lagi menjadi dia punya milik.
Aiiss.. What the hell!!
*
Kira-kira, begitulah secangkir kopi sore dicicipi pelan-pelan di sudut Genjing; berpikir tentang mantan.
Saat cairan hitam pekat itu tersisa sedikit di dasar gelas, ada semacam godaan untuk meneguknya seketika untuk kemudian membalikkan gelasnya di tatakan: toto kopi.
Saya pernah percaya itu. Toto kopi, tasseografi ala kearifan lokal: melihat masa depan dalam alur ampas yang tercetak di gelas kopi.
Ada masanya, saya begitu gembira ketika bisa mendapatkan gambaran masa depan yang terhampar di dinding secangkir kopi sore.
Betapa dalam toto kopi, Sang Pencipta, dalam keunikan caraNya sendiri, memberikan kesempatan kepada ciptaanNya untuk sejenak ‘mengintip’ masa depan.
Beberapa orang masih percaya itu. Meramal masa depan dalam secangkir kopi. Mengintip apa yang akan diberikan Sang Pencipta, juga mengintip apa yang mungkin diambilNya kembali.
Saya telah berhenti melakukannya sejak bertahun-tahun yang lalu. Berhenti ketika tiba-tiba tercenung dengan pepatah yang kemarin itu: if you deserve something, you have earned the right to it.
*
Ya, bahwa pada akhirnya kearifan yang pernah diwariskan Sang Guru, saat menepi di sudut Getsemani, adalah gambaran tentang selintas perjalanan hidup: tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.
Pernyataan yang sama pernah diungkapkan bundaNya jauh sebelum Ia lahir ke dunia. Bahwa segala yang ada adalah milik Sang Pencipta, adalah kepunyaan Sang Penguasa Segala.
Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanMu.
Hanya dengan memahami itu Matius 22:30 bisa dimaknai dengan utuh: Karena pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga.
Demikianlah kata mantan tidak akan pernah ada dalam kamus penghuni surga. Sejatinya, kita ini adalah jiwa-jiwa yang single, ciptaan yang jomblo.
Fiat voluntas tua, sicut in caelo et in terra!!