Kapan Harus Berhenti atau Melanjutkan Lagi

Dalam hidup, ada orang-orang yang tidak pernah ditemui lagi di kesempatan berikutnya. Ada juga kota yang tak pernah kembali disinggahi pada masa-masa hidup selanjutnya.

Waktu berlalu. Ibarat merajut, ada benang-benang cerita yang akhirnya digunting lalu diikat menjadi simpul. Selesai.

Ada juga yang putus, lalu disambung kembali karena karena rajutannya kisahnya belumlah usai. Masih ada kesempatan.

Tentang kapan harus menggunting-usai atau kapan harus meneruskan langkah, saya teringat Dante dan tuturannya dalam Divina Commedia: tentang Inferno.

Dante dan Pertanyaan-pertanyaan Masa Kecil

Dante memporak-porandakan ingatan masa kecil saya tentang neraka, tentang ganjaran bagi para pendosa dalam hidup setelah kematian.

Dulunya, sebagaimana dalam ingatan anak-anak agama sawami pada umumnya, neraka adalah narasi tentang tempat dengan api abadi yang menyala-nyala sepanjang masa.

Di sanalah kamu akan ditempatkan jika mencuri mangga tetangga.

Di sana juga kalian akan ditempatkan atas kenakalan-kenakalan lain, semisal mengintip gadis-gadis mandi di kali, mengerjai polisi yang sedang bertugas, atau berbohong pada orang tua tentang besaran jumlah uang sekolah.

Seiring bertambahnya usia, neraka dalam ingatan masa kecil adalah tempat yang kabur, dongeng yang terlalu sulit untuk dipercaya.

Bagaimana mungkin politisi yang membagikan sembako kepada rakyat tetapi abai terhadap orang-orang yang dicintainya bisa dilempar ke dalam api yang sama dengan politisi korup yang hanya memperkaya diri dan keluarganya?

Bagaimana mungkin seseorang yang selingkuh atau berbohong kepada pasangannya bisa ditempatkan di neraka yang sama dengan pastor atau suster yang melanggar janji selibatnya?

Perjumpaan dengan naskah-naskah Dante, dengan Inferno, perlahan-lahan menyajikan gambaran tentang neraka yang lebih mudah dimengerti.

Ah, ya. Inferno mengisahkan perjalanan Dante ke Neraka, dipandu oleh Virgil, penyair Romawi kuno lalu Beatrice, tokoh yang juga dikisahkannya dalam La Vita Nuova.

Meski Inferno sarat dengan nuansa teologis, gambaran tentang sembilan tingkatan neraka yang digambarkan Dante di dalamnya membuat hidup ini sedikit lebih dipahami untuk dijalani.

Tetapi, kita tidak sedang membahas tentang itu, tentang anatomi neraka.

Tentang Kapan Mesti Berhenti

Saya lebih tertarik dengan tulisan yang dibaca Dante di pintu neraka dalam ‘penglihatannya’.

Dalam Inferno dikisahkan, saat akan memasuki neraka, ada sebuah kalimat yang tertera di pintunya: “Lasciate ogni speranza voi ch′entrate”.

Bahasa Inggris menerjemahkannya dengan “Abandon hope all ye who enter here”, yang kurang-lebih diartikan sebagai: Tinggalkan semua harapan, hai kalian yang memasuki tempat ini.

Neraka adalah tempat tanpa harapan. Tempat di mana pepatah, where there is a will there is a way, tidak berlaku lagi.

Neraka adalah tempat akhir, di mana manusia harus pasrah dengan keadaan, menerima konsekuensi atas segala tindakannya di dunia tanpa ada kesempatan memperbaikinya lagi.

Di sana tidak ada hari esok, tidak akan ada lagi kesempatan kedua, juga tidak ada ruang yang memungkinkan adanya ‘pertobatan’.

Itu.

Tidak heran jika oleh kitab-kitab kuno, tempat itu digambarkan sebagai tempat yang penuh dengan ratap dan kertakkan gigi.

Di sanalah peribahasa “penyesalan selalu datang terlambat” menemukan perwujudannya yang sempurna. Di neraka.

Tentang Kapan Harus Melanjutkan Lagi

Ini bukan catatan tentang iman atau permenungan teologis. Juga bukan krestenisasi
Ini juga bukan apa yang dibahasakan Agustinus dengan Fides Quaerens Intellectum: sikap kritis dan keterbukaan mempelajari ajaran agama, baik yang tertera di dalam Alkitab, Al-Quran atau buku-buku teologi lainnya untuk membentuk pemahaman yang benar tentang hidup di dunia atau setelah kematian.
Ini adalah catatan tentang keseharian. Tentang kapan mesti memutuskan untuk berhenti memperjuangkan impian, juga kapan harus memantapkan niat untuk melanjutkan lagi langkah-langkah menuju hal-hal baik yang didambakan.
Ini bisa saja catatan bagi dua kekasih yang sedang saling menepi karena tidak sepemahaman.
Juga bisa jadi catatan bagi aktivis jalanan yang sedang akan pasrah menghadapi sistem kekuasaan yang seolah tak mungkin diperbaiki.
Ini pun bisa jadi catatan untuk para pekerja dan pengusaha, yang menyerah pada PHK atau resesi ekonomi gegara pandemi corona serta ketidakmungkinan akan adanya ruang lain untuk berusaha.
Atau, cukuplah ini jadi catatan di Narareba, bahwa selayaknya hal-hal yang baik harus terus-menerus diperjuangkan.
Juga orang-orang yang baik.
Seperti yang pernah dituliskan Oscar Wilde, “Every saint has a past, and every sinner has a future.” Setiap orang kudus punya masa lalu, dan setiap pendosa punya masa depan.
Oscar yang sama juga mewariskan nasihat yang serupa, yang berkali-kali dijadikan moto hidup atau sekedar status WA orang-orang:

Everything is going to be fine in the end. If it’s not fine it’s not the end. Segala sesuatu akan baik pada akhirnya. Jika belum baik, itu bukanlah akhir.
Hanya dengan begitu, kita bisa mensyukuri hari ini dan berharap bisa bangun esok hari.
Karena masih ada ruang, masih ada waktu, masih ada kesempatan.
Kapan Harus Berhenti atau Melanjutkan Lagi

*Dintor, pada suatu ketika – @narareba

Exit mobile version