Merupakan kebanggaan setiap anak ketika ayahnya mengakui bahwa putra/putri kecilnya telah bertumbuh dewasa. Ah, itu adalah proses yang canggung, awalnya. Dua Thundang: dari generasi ke generasi.
“Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa, suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana.” – Seno Gumira Ajidarma
Dua Thundang di Langgo – Ruteng
Puncak siang yang beku. Keriuhan hujan, mirip siraman berkarung-karung biji jagung yang ditebarkan di atas atap. Di luar, got sudah separuh penuh, membentuk cermin keperakan yang terhampar sepanjang limabelas meter hingga ke mulut gang.
Hanya gemuruh guntur yang absen siang ini. Selebihnya sama: butir air sebesar biji sompeng yang tak henti-hentinya menggempur atap, bau tanah basah yang menyeruak dengan campuran aroma sensus dan kembang-kembang musim hujan, peluk udara yang dingin menggelitik saraf-saraf lapar, dan bujukan likang yang begitu menggoda kaki untuk meringkuk di pojok dapur.
Akhir tahun di Langgo-Ruteng selalu sama. Setidaknya untuk duabelas tahun pertama dalam hidup dan di tahun terakhir, saat aku benar-benar ‘pulang’ ke rumah.
“Nana, jangan duduk sendiri di depan. Ingat siapa? Mari sudah, mai duduk minum kopi dengan Bapa di sini.”
Suara bapa dari ruang tengah bukan lagi terdengar seperti ajakan seorang ayah kepada putra kecilnya. Meski nadanya sama, setelah sekian tahun tidak pulang, aku merasa suara itu adalah ajakan seorang pria yang tengah kesepian kepada pria lain yang juga sedang punya suasana hati yang sama.
Ah bapa tidak tahu, sebenarnya aku sedang tidak ingat siapa-siapa. Aku justru kesal dengan diri sendiri dan dengan dureng yang tidak kunjung berhenti. Hari ini ulang tahun bapa. Hujan mengurungku di rumah, dan aku tidak bisa keluar membeli kado atau mencari apapun untuk membuat bapa bahagia di hari besarnya.
Selama dua puluh lima tahun hidup, mengalami perayaan ulang tahun bapa di rumah adalah salah satu anugerah kehidupan yang sampai saat ini masih bisa dihitung dengan jari. Aiss…
“Mari sudah, Nana.” Ajakan itu terdengar lagi.
Dengan langkah gontai, aku menyeret kaki ke ruang tengah. Di sana, ia tengah duduk. Tidak biasanya ia menyiapkan dua lintingan tembakau. Kopi dalam gelas di hadapannya masih mengepul, begitu juga di lingkar gelas yang satunya lagi. Dan tidak seperti biasanya-juga, letak kedua gelas itu berhadap-hadapan, bukan bersebelahan seperti tahun-tahun sebelumnya.
Ia mengambil satu lintingan dan memberikannya untukku. Tanpa kata. Aku sempat berbisik: “Terimakasih, Bapa.” Kelewat berbisik, mungkin ia tak sempat mendengarnya, tertelan bunyi suara hujan
Ia menyalakan tembakaunya dengan korek kayu, menarik asap pertamanya dalam-dalam seakan memastikan apakah sudah terbakar sempurna atau belum, dan mengarahkan anak korek yang masih menyala untukku. Aku membatin dalam hati, “Dua pria berkumpul.”
Baru kali ini, aku mengalami perlakuan seperti ini. Ada perasaan bangga yang menyeruak dalam dada; kebanggaan setiap anak-laki-laki ketika ayahnya mengganggapnya telah menjadi seorang laki-laki dewasa. Tetapi, rasa bangga itu segera tenggelam oleh perasaan yang lain; iba. Aku merasa, ini saatnya bapa melepasku.
Aku bukan lagi putra kecil yang dulu biasa di-lancok di atas bahunya, bukan lagi anak nakal yang ditempa dengan lidi dan rotan untuk membuatnya sadar. Bukan lagi penagih uang saku yang selalu protes kalau jatahnya kelewat minim. Bapa telah melepasku. Ada rasa bangga, tetapi aku juga merasa, di matanya ada perasaan kehilangan. Mendadak aku seakan dibabtis menjadi orang asing ‘di rumahnya’. Tanpa sadar, mataku berkaca-kaca.
Catatan Perjalanan Nara Reba
Sejak keluar dari rahim Flobamora dan terjun ke dunia perantauan pada tahun 2006, terhitung baru tiga kali saya pulang kampung: Juni 2009, Desember 2011, Desember 2014.
Dari setiap kepulangan itu, selalu ada cerita yang berbeda yang didapat, terutama pertemuan dengan kedua orang tua yang kian tahun kian beruban. Catatan ini semula ditulis sebagai refleksi atas perjumpaan saya dengan bapa saat pulang di tahun 2011. Kotak hitam ini adalah bagian tambahan yang ditulis saat narareba.com ‘direvisi’ selama Maret – April 2015.
Titip Rindu Buat Ayah
Tidak seperti di catatan-catatan sebelumnya, kali ini saya kesulitan untuk membahasakan dengan cara lain selain menulis, perasaan untuk sosok bapa. Saya juga menolak usulan yang tiba-tiba muncul, bahwa di “Dua Thundang” pun harus dilampirkan catatan kaki. Katanya, selain untuk memperkaya cerita, juga untuk alasan klasik itu: SEO – Search Engine Optimization.
Kemudian, aaat kemarin sedang menjalani rutinitas harian bertugas jaga malam di Jitunews, ide itu muncul. Kenapa tidak mengungkapkannya dalam lagu? Ya, Titip Rindu Buat Ayah, lagu ciptaan Abid Ghoffar bin Aboe Dja’far (Ebiet G. Ade) itu pun akhirnya dipilih untuk mewakili kegelisahan dalam artikel ini.
Berbekal petikan pada peluk gitar tua dan suara yang dipelintir seadanya, lagu itu pun akhirnya sukses direkam, diedit, dan akhirnya di-youtube-kan.
Maaf jika liriknya terhafal keliru. Maaf jika urutan baitnya pun harus terpuntir tak beraturan. Juga, maaf jika ada kecanggungan yang turut terdengar di sana.
Di timur, di Manggarai – Flores sana, kami terbiasa mengganti kata ‘ayah’ dengan ungkapan ‘bapa’. Bahkan sekiranya saya diijinkan untuk mengganti judulnya, saya akan menyebutnya “Titip Rindu Buat Bapa”..
Monolog Putri Ayah
Kami berempat: Saya, Max, Beben, dan Oncak. Semuanya laki-laki. Tentunya, kerinduan akan sosok bapa (ayah) yang dibahasakan di sini adalah kerinduan dari seorang anak laki-laki akan sosok bapanya.
Persis di situlah saya kesulitan untuk memahami, sebesar apa (seperti apa) bentuk kerinduan ‘anak perempuan’ akan sosok ayah? Bukankah anak perempuan lebih cenderung dekat (dan rindu) dengan ibu? Maafkan ketidaktahuan saya.
Film memang bisa menjadi “cermin rasa”, sebuah cara bercerita sekaligus ruang belajar agar sisi kehidupan yang tidak kita alami dapat kita “datangi” dan rasakan. Beberapa film memang sukses memberikan efek itu untuk saya.
Tetapi, tidak kali ini, dengan topik ini. Pun setelah melahap habis Father of the Bride, film yang direkomendasikan seorang teman untuk membantu menuntaskan artikel ini, saya masih kesulitan untuk masuk ke dunia lain dan mengambil peran sebagai “putri yang merindukan ayah”.
Untunglah, pencarian yang tak putus-putusnya selama tiga hari di ruang nyata dan beranda maya akhirnya membuahkan ini: Monolog Ayah. Singkat, runut, sekaligus menyentuh. Sejumlah sahabat putri yang diperdengarkan rekaman Soundcloud ini pun mengiyakan bahwa mereka pernah mengalami hal yang sama dan kerinduan yang serupa. Masalah pun selesai.
Bagaimanapun, pengalaman dan kerinduan akan sosok ayah adalah pengalaman pribadi setiap orang. Dua Thundang hanyalah cara bercerita sekaligus ajakan untuk mengenang dan menyapa kembali sang ayah, bapa, daddy, ema atau dengan nama apapun ia akrab disapa oleh setiap anak-anaknya. Pada akhirnya, masing-masing orang pun akan punya kisah yang berbeda untuk diceritakan tentang sosok bapa. Well, ini ceritaku, mana ceritamu?