Langgo – Ruteng dan Manggarai pada umumnya punya topografi yang terjal. Banyak siasat dan jurus kehidupan yang lahir untuk menghadapi kenyataan itu, semisal siasat “sawah berundak-undak”1Istilah “sawah berundak-undak ini saya modifikasi dari ingatan tentang pelajaran sejarah masa kecil, tentang nama sebentuk bangunan beserta artinya, yang harus dihafalkan mati-matian sebelum ulangan pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS): Punden Berundak-undak. Dulu, saat kecil melihat gambar punden berundak-undak dari buku IPS tanpa pernah menjumpai langsung bentuk sebenarnya membuat saya mem-visualisasikannya seperti tingkatan-tingkatan petak sawah di Manggarai. Lahirlah ungkapan itu dalam benak: sawah berundak-undak. Bandingkan terjemahan kata undak menurut KBBI Online yang kerap jadi objek agrowisata para turis mancanegara.
Jembatan penyeberangan lage ngalor (melewati sungai) hanyalah satu dari sederet siasat unik lainnya. Langgo: Mendadak Homesick adalah cerita tentang itu; tentang Jembatan Bambu di depan rumah.
“Uwa haeng wulang, langkas haeng ntala“, sebuah ungkapan akan cita-cita serta usaha untuk meningkatkan taraf hidup, sekaligus menjadi sebuah doa ke hadirat Tuhan agar kiranya memperoleh kesehatan badan dan jiwa. – Peribahasa Manggarai
Mendadak Homesick
Entah kenapa, penyakit itu baru mucul belakangan ini. Semuanya seakan hadir lagi dalam bayang-bayang berkelebat: di kampus, di kos, di mimpi, di lamunan, di layar komputer … bahkan kadang di screen ha-pe. Fenomena psikologis? Deja vu? Firasat? Atau hanya sekadar bujukan alam bawah sadar yang muncul ke permukaan? ~ ~ ~
Dulu, Langgo-Ruteng (Manggarai, Flores, NTT) adalah jalur tol-nya para pencari ‘haju sorok’2Haju Sorok: Kayu (bakar) yang diangkut dari hutan dengan cara ditarik (atau digelindingkan) menggunakan tali. Haju sorok biasanya berupa batang kayu gelondongan yang besar dan panjang. Hasil hutan yang satu ini didapat dengan cara menebang pohon besar yang masih hidup atau pohon yang sudah mati tapi belum tumbang. Batangnyalah yang diangkut sebagai haju sorok oleh para pencari kayu bakar untuk kemudian dibawa ke rumah lalu dibelah kecil-kecil sebagai bahan kayu bakar. karena medannya yang unik: tanah merahnya yang licin dan terjal – meski sontak berubah jadi daratan-curam -rawuk (ber-debu) berwarna cokelat kelabu saat kerontang tiba. Rekan-rekan seperkawehajuan3Seper-kawehaju-an: Kawe Haju = mencari kayu. Istilah seperkawehajuan yang digunakan di sini merujuk pada kelompok atau tim pencari kayu bakar di hutan. Saat kecil, kami mencari kayu bakar di hutan-hutan sekitaran kota Ruteng secara berkelompok. Selain demi alasan keamanan, kelompok pencari kayu bakar ini adalah lingkaran teman bermain atau lingkaran anak-anak yang tinggal dalam satu kompleks. Istilah seperkawehajuan ini bisa juga diterjemahkan menjadi kawan-kawan sesama pencari kayu bakar. dari Kumba, Wae Buka, Cuncalawar, ataupun Cepang, sejak lama sepakat bahwa daerah kami yang terjal itu adalah jalur gelinding paling cepat untuk mengangkut pulang haju sorok dari hutan di bukit selatan kota.
Terjalnya topografi Langgo itu jugalah yang membuat setiap rumah wajib menyediakan ‘jembatan penyeberangan mini’ demi melintasi got-got yang lumayan lebar. Ya, medannya yang terjal menuntut setiap gang di Langgo mempunyai dua jalur got yang lumayan lebar: di kiri dan di kanan lajur gang. Jalur got inilah yang menjadi saluran air yang mengalir mulai dari puncak perbukitan untuk kemudian bermuara di Wae Ngkeling, Wae Dimpong, dan Wae Decer.
Saat pulang kampung tahun 2009 (dan Natal 2014), jembatan bambu di atas jalur got depan rumah masih menyambut dengan gagah. Jembatan made in sendiri keluaran tahun ’93 itu masih utuh melintang; meski satu-dua bilahnya telah lapuk termakan peradaban. Dulu, saat kecil, jembatan itulah yang sering jadi markas paling aman untuk bersembunyi dari teriakan-teriakan khas, semisal:
Seputaran ‘Wae Teku’
“Nana, ngo teku wae di, kosong’s jerigen so’o musi ga..” Aslinya, dalam versi dialek Manus4Dialek Manus. Mama saya berasal dari daerah Mukun di Kabupaten Manggarai Timur. Dalam percakapan sehari-hari, Mama jarang menggunakan bahasa Manggarai, melainkan bahasa Manus, untuk berkomunikasi secara akrab dengan kami (Saya dan ketiga adik, serta Bapa). Boleh dibilang bahasa Manus adalah Mother Language saya dan ketiga saudara saya, sebab dalam bahasa itulah kami berkomunikasi dengan Mama. Meskipun begitu, hingga hari ini saya hanya bisa memahami bahasa itu, tanpa pernah fasih mengucapkannya secara verbal dalam percakapan. Penjelasan tentang dialek / bahasa Manus, dapat ditemukan di ini, blog seorang Putra Manggarai Timur. kira-kira seperti ini: “Nana, to’o teku wae’ di ghau sekoe’n, tedung gha’ay waen musi jerigen.” Versi terjemahan: “Nana, pergilah menimba air, jerigen air sudah kosong. ”
Waktu itu masih zamannya ‘air paroki’ yang kadang mati-hidup. Sudah begitu, pipa yang cuma satu itu pun dikerubuti bukan hanya oleh para pengisi jerigen, tapi juga oleh kumpulan penggosip ngasang data (penggosip nama orang) atau antrian anak-anak asrama yang menjadikan “keran air” sebagai ruang pubik paling privat setelah lapangan STM Bina Kusuma.
Ah, masa-masa itu sudah lewat. sekarang tiap rumah sudah pake air PDAM. Tak ada lagi suka-duka di keran air satu-satunya. Tak akan ada lagi tontonan menarik: memandangi sekelompok anak kecil bermain gelembung sabun sisa cucian para ‘mama’ di wae teku.5Wae Teku = Air Timba / Sumber Air (Wae: Air/Sungai – Teku:Timba). Wae Teku di sini berarti tempat menimba air, meskipun arti sebenarnya dari kata itu mewakili makna yang lebih luas dan mendalam bagi masyarakat Manggarai. Sumber air (wae bate teku) memiliki hubungan tak terpisahkan dengan empat pokok lainnya yang menjadi pilar kehidupan orang Manggarai yakni, rumah (mbaru bate kaeng), halaman (natas bate labar), mezbah persembahan (compang bate dari), dan kebun (uma bate duat)
Ya, miris juga ketika tahu bahwa ada kenangan yang hilang saat iklan itu terbukti benar: “Sekarang sumber air su dekat. Beta sonde pernah terlambat lagi. Lebih mudah bantu mama ambil air untuk mandi adik. Karna mudah ambil air, katong bisa hidup sehat.6Jingle video promosi Aqua – Danone, “Satu Untuk Sepuluh” yang pernah populer di awal tahun 2000-an. Di perantauan, gara-gara iklan ini, kami yang berasal dari Timur Nusantara sering dianggap sebagai perantau Ibukota yang datang dari negeri gersang nun jauh di sana. Ais, mereka tir tau…
Drama ‘Tutur Tinular’
“Nana, toe ngo sekolah hau bao?” Aslinya, dalam versi dialek Manus kira-kira seperti ini: “Nana, toe to’o skola ghau wero?” Versi terjemahan: “Nana, tadi kamu tidak ke sekolah?”
Drama Radio Tutur Tinular7Tutur Tinular: sebuah drama radio legendaris karya S. Tidjab yang diputar di Radio Suara Pemerintah Daerah Manggarai (RSPD) – dulu namanya Radio Pemerintah Daerah (RPD) Manggarai – pada tahun 90-an. Drama ini berkisah tentang perjalanan hidup dan pencarian jati diri seorang pendekar yang berjiwa ksatria bernama Arya Kamandanu berlatar sejarah runtuhnya Kerajaan Singhasari dan berdirinya Kerajaan Majapahit. Bandingkan, Wikipedia: Tutur Tinular adalah pembujuk paling ampuh – selain ‘ngo kawe haju awo rongket pake oto proyek’ – untuk bolos sekolah. Tidak ke sekolah berarti bencana. Itu sama dengan kejahatan “merusak antena tivi tetangga dengan alasan menurunkan layang-layang yang tersangkut.” Bapa pasti marah besar.
Bukan sekali dua kali Bapa marah gara-gara bolos sekolah demi menguping drama Tutur Tinular dari radio tetangga. Kadang, saat puncak marahnya sudah tak bisa ditahan, kata-kata pamungkasnya keluar juga: “Jiri apa keta peng anak koe ho’o tai?!” (akan jadi apa anak ini nanti?! Bdk. Lukas 1:66).
Cerita tentang kepahlawanan Arya Kamandanu dan cintanya pada Mei Shin serta rangkaian kisah bernuansa sejarah mulai dari Kediri hingga Majapahit dalam Tutur Tinular, saat itu dianggap sebagai “pelajaran hidup” yang lebih menarik untuk disimak ketimbang pelajaran sekolah. Bukan sekali dua kali juga, pertentangan batin untuk ke sekolah atau menunggu jam RPD menyiarkan drama radio itu akhirnya dimenangkan oleh keputusan: tak apa dimarahi bapa, asal episode hari ini tidak dilewatkan.
Lagi-lagi, kolong jembatan bambu adalah tempat bersembunyi dalam diam sambil menunggu satu siang, jam pulang sekolah. Waktu tempuh antara SDK Kumba I dan rumah sebelumnya telah dihitung dengan persis. Kepala pun akan disembulkan dari bawah jembatan, saat “waktu biasanya pulang” akhirnya tiba. Bapa mungkin jarang tahu, tapi tatapan mata mama dan pertanyaannya selalu membuat mati kutu: “Nana, toe to’o skola ghau wero?” Skak mat!!
‘Petugas Jaga’ Kios
“Nana, ngo jaga kios di cekoen.” Aslinya, dalam versi dialek Manus kira-kira seperti ini: “Nana, to’o zelong ame’n kios igha eta sekoe’n. Poli reok ute di pi to’o eta kios mama titu.” Versi terjemahan: Nana, gantikan mama untuk menjaga warung, sebentar saja.
Apalagi yang satu ini. Menjaga kios berarti, tinggal di antara tumpukan kacang dan permen tanpa bisa menjejalkan salah satu dari antara jajanan penggoda itu ke dalam mulut sendiri. Jaga kios juga berarti, terkunci dalam pondok kecil persegi sepanjang sore dan menyaksikan teman-teman bermain layangan atau bermain kelereng, tanpa boleh ikut bergabung.
Jaga kios, waktu itu (untuk seorang anak yang belum bisa memahami betapa sulitnya mencari uang) berarti menyia-nyiakan waktu bermain yang sangat berharga, demi menunggu lakunya sebungkus kacang cup-cup atau sebatang bombon lidi. Sakitnya tuh di sinii… Ufh..
Jembatan Bambu Itu
Jembatan bambu itulah yang selalu jadi tempat persembunyian paling aman. Tak ada yang pernah tahu kalau got di bawah jembatan adalah bunker rahasia yang bahkan tak pernah dibayangkan oleh Oom ketua lingkungan Regina Pacis sekalipun. Beliau sering bingung tiap kali mencari tahu anak diong keta ho’ote (anak siapakah yang) membidikkan katapel ke arah burung gereja yang bertengger di bubungan rumah-nya..
Sampai suatu saat, ketiduran di bawah jembatan itu membawa musibah. Sore-sore, ada anak asrama yang numpang kencing di pinggir got. Airnya mengalir sampai ke bawah jembatan. “Ueee…ekkk…”
Sejak itu, si kolong Jembatan Bambu tak pernah lagi jadi tempat tidur kedua setelah kasur. Tak pernah lagi jadi tempat persembunyian prioritas selain ‘mbaru dise Chen‘ (Rumah-nya Chen – teman sepermainan). Juga tak lagi jadi tempat membalas umpatan yang tak terucapkan. Karena ternyata tempat itu juga menjadi jalur “pembuangan akhir” dari pihak-pihak yang tak bertanggungjawab.
Ah, tapi justru di sanalah puisi-puisi pertamaku lahir dan tercipta …
Diperbaharui pada Februari 2015
Setelah empat tahun, artikel ini direvisi: dipercantik dengan gambar dan peta, dan ditambahkan satu-dua komentar kecil ke dalamnya sembari menjaga batas untuk tidak merombak gaya aslinya. Harus diakui, ini pekerjaan yang tidak mudah. Diposting pada 07 April 2011, di-makeover pada 12 April 2015. Ada rentang waktu empat tahun yang tidak sedikit. Tentu saja salah satu efeknya adalah, ketika membaca tulisan ini sekali lagi, ada desakkan kuat untuk menghapusnya dari arsip Nara Reba.
Alasannya simple, tulisan ini kelewat sederhana karena memang dulunya ditulis di saat-saat iseng, ketika perasaan rindu akan kampung halaman begitu kuat dan tak tahu harus membagikannya dengan siapa atau bagaimana. Tulisan ini pun tercipta dengan unik: ditulis tanpa peduli, apakah isinya dimengerti pembacanya atau tidak – yang penting isi hati tercurahkan. Tautan antar-paragrafnya pun lemah: rindu pulang, Langgo, jembatan bambu, haju sorok, ingat mama, dan kenangan masa kecil. Yang penting jadi, masalah selesai, titik.
Setelah bergumul selama dua hari penuh, dengan cara apa artikel ini ditampilkan kembali dengan “wajah baru” tanpa menghilangkan karakter aslinya empat tahun lalu, akhirnya ide pun terbentuk. Bagaimana menghadirkan sebuah tulisan lama dengan cara yang baru dan lebih informatif, tanpa mengubah isi serta gaya cerita? Aha!! Maka, jadilah petang dan pagi. Di hari ketiga, tulisan ini akhirnya lahir dengan wajah baru. Oh ya, artikel aslinya masih bisa dilihat di sini: Academia Nara Reba. Silahkan bandingkan versi lama dan versi barunya.
Tentu masih banyak pertanyaan yang tersisa, seandainya Anda singgah di halaman ini untuk mencari informasi yang lebih lengkap tentang Langgo atau pun tentang kota Ruteng, kota di kaki barisan pegunungan Sirkum Pasifik. Akan tiba waktunya nanti saya akan membahas tentang itu dalam sebuah “tulisan baru”. Untuk saat ini, jika ada pertanyaan yang ingin disampaikan, silahkan dititipkan di kotak komentar. Sebisanya akan saya jawab.
Saya teringat dengan isi pesan salah seorang sahabat dari luar negeri yang beberapa waktu lalu mengirimkan pesan atas postingan ini: Hy, Nara. Are you from Flores? I am a journalist preparing a trip to Flores and I am looking for information on language and culture of the island. Unfortunately there is very little valuable data on the Internet. Can I ask you for a little guidance?
Ya, Langgo: Mendadak Homesick awalnya mungkin hanya catatan iseng yang lahir dari pelampiasan rindu yang membuncah akan sebuah sudut kecil di pinggiran kota Ruteng, Manggarai, Flores. Namun, dengan caranya sendiri, ia telah membantu sejumlah orang menemukan jalan untuk pulang, atau menemukan petunjuk untuk pergi.
Tetapi, ah. Lagi-lagi, Anda mungkin butuh penerjemah untuk membacanya. Sebaiknya dia orang Manggarai. Tak harus penerjemah bersertifikat resmi.
Catatan Narareba:
- 1Istilah “sawah berundak-undak ini saya modifikasi dari ingatan tentang pelajaran sejarah masa kecil, tentang nama sebentuk bangunan beserta artinya, yang harus dihafalkan mati-matian sebelum ulangan pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS): Punden Berundak-undak. Dulu, saat kecil melihat gambar punden berundak-undak dari buku IPS tanpa pernah menjumpai langsung bentuk sebenarnya membuat saya mem-visualisasikannya seperti tingkatan-tingkatan petak sawah di Manggarai. Lahirlah ungkapan itu dalam benak: sawah berundak-undak. Bandingkan terjemahan kata undak menurut KBBI Online
- 2Haju Sorok: Kayu (bakar) yang diangkut dari hutan dengan cara ditarik (atau digelindingkan) menggunakan tali. Haju sorok biasanya berupa batang kayu gelondongan yang besar dan panjang. Hasil hutan yang satu ini didapat dengan cara menebang pohon besar yang masih hidup atau pohon yang sudah mati tapi belum tumbang. Batangnyalah yang diangkut sebagai haju sorok oleh para pencari kayu bakar untuk kemudian dibawa ke rumah lalu dibelah kecil-kecil sebagai bahan kayu bakar.
- 3Seper-kawehaju-an: Kawe Haju = mencari kayu. Istilah seperkawehajuan yang digunakan di sini merujuk pada kelompok atau tim pencari kayu bakar di hutan. Saat kecil, kami mencari kayu bakar di hutan-hutan sekitaran kota Ruteng secara berkelompok. Selain demi alasan keamanan, kelompok pencari kayu bakar ini adalah lingkaran teman bermain atau lingkaran anak-anak yang tinggal dalam satu kompleks. Istilah seperkawehajuan ini bisa juga diterjemahkan menjadi kawan-kawan sesama pencari kayu bakar.
- 4Dialek Manus. Mama saya berasal dari daerah Mukun di Kabupaten Manggarai Timur. Dalam percakapan sehari-hari, Mama jarang menggunakan bahasa Manggarai, melainkan bahasa Manus, untuk berkomunikasi secara akrab dengan kami (Saya dan ketiga adik, serta Bapa). Boleh dibilang bahasa Manus adalah Mother Language saya dan ketiga saudara saya, sebab dalam bahasa itulah kami berkomunikasi dengan Mama. Meskipun begitu, hingga hari ini saya hanya bisa memahami bahasa itu, tanpa pernah fasih mengucapkannya secara verbal dalam percakapan. Penjelasan tentang dialek / bahasa Manus, dapat ditemukan di ini, blog seorang Putra Manggarai Timur.
- 5Wae Teku = Air Timba / Sumber Air (Wae: Air/Sungai – Teku:Timba). Wae Teku di sini berarti tempat menimba air, meskipun arti sebenarnya dari kata itu mewakili makna yang lebih luas dan mendalam bagi masyarakat Manggarai. Sumber air (wae bate teku) memiliki hubungan tak terpisahkan dengan empat pokok lainnya yang menjadi pilar kehidupan orang Manggarai yakni, rumah (mbaru bate kaeng), halaman (natas bate labar), mezbah persembahan (compang bate dari), dan kebun (uma bate duat)
- 6Jingle video promosi Aqua – Danone, “Satu Untuk Sepuluh” yang pernah populer di awal tahun 2000-an. Di perantauan, gara-gara iklan ini, kami yang berasal dari Timur Nusantara sering dianggap sebagai perantau Ibukota yang datang dari negeri gersang nun jauh di sana. Ais, mereka tir tau…
- 7Tutur Tinular: sebuah drama radio legendaris karya S. Tidjab yang diputar di Radio Suara Pemerintah Daerah Manggarai (RSPD) – dulu namanya Radio Pemerintah Daerah (RPD) Manggarai – pada tahun 90-an. Drama ini berkisah tentang perjalanan hidup dan pencarian jati diri seorang pendekar yang berjiwa ksatria bernama Arya Kamandanu berlatar sejarah runtuhnya Kerajaan Singhasari dan berdirinya Kerajaan Majapahit. Bandingkan, Wikipedia: Tutur Tinular