Ruteng, Kota Kelahiran (Birthplace)
Saya mengenal Ruteng, sejak dalam kandungan mama. Karenanya, Ruteng bukan hanya ibukota kabupaten Manggarai – Flores – NTT, tempat nama saya tercatat dalam akta kelahiran Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Bagi saya, Ruteng pertama-tama adalah ibu pertiwi, karena dalam rahim buminya yang ramah, saya dikandung mama hingga akhirnya terlahir ke dunia membawa panji-panji zodiak kelinci.
Saya berdarah Ruteng; merahnya adalah warisan genetik Waling – Riwu dan Manus – Mukun yang dipadu dengan tanah-pijak, air-minum, hasil-bumi dan nafas-hidup dari sang Mori Kraeng melalui ibu pertiwi . Meski pecahnya kabupaten membuat saya seakan dipindah-kotakkan lalu dilabeli “orang Manggarai Timur”, saya tetap mengaku sebagai “Orang Ruteng”. Bagaimana mungkin saya mendurhakai ibu pertiwi saya sendiri?
Tentunya, saya akan tetap menjadi anggota suku Ntangis – Waling, identitas terberikan yang diwariskan bapa. Saya juga akan selalu bangga berbahasa Manus – Mukun karena saya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari itu, anugerah bawaan yang diterima dari mama. Namun, itu tidak serta-merta menghapus identitas yang diberikan kesempatan-hidup kepada saya, menjadi orang Ruteng: dikandung dan dilahirkan di kota yang menjadi jantung kehidupan Manggarai Raya pada masa itu.
Ruteng, Kampung Halaman (Hometown)
Ya, Ruteng adalah kampung halaman yang dimaksud dalam definisi hometown: the town where you grew up or where you have your principal residence. Saya menghabiskan tahun-tahun pertama di Ruteng, sejak akhir dekade 80-an hingga di penghujung milenium kedua. Di tahun-tahun setelahnya, di setiap kesempatan liburan, saya pun akan selalu kembali ke Langgo – Ruteng, ke tempat yang saya sebut “rumah” dalam arti sebenarnya.
Jujur, saya kesulitan. Memahami Ruteng sebagai “rumah” yang akan selalu menjadi tempat untuk pulang, dan sebagai “kampung halaman” yang akan selalu menjadi tempat untuk kembali, tidak akan pernah cukup untuk dibahasakan di sini. Memaksa diri untuk melakukannya pun akan sia-sia. Itu ibarat meminta seseorang membuat ringkasan jejak sepanjang tujuh paragraf atas sebuah film berdurasi 12 tahun yang baru saja ditontonnya.
Mungkin durasinya tak harus selama itu, 12 tahun. Barangkali, gambaran tentang Ruteng sebagai kampung dan halaman sekaligus rumah pada saat yang sama bisa didapat dari video-tanpa-kata berikut ini. Video ini adalah oleh-oleh Michael LAM, seorang vlogger yang pernah singgah di Ruteng dan membahasakannya dalam kebisuan berdurasi 6 menit 20 detik.
Ruteng, Dalam Jejak Perjalanan
Pada akhinya, Ruteng adalah sebuah kata dan kota yang tidak akan utuh tertangkap dalam gambar dan cerita tanpa pernah menjejakkan kaki di tanahnya, merasakan sejuk dingin airnya dan menghirup segar hawa yang menghidupi segenap makhluk di dalamnya. Ia adalah kata dan kota sejuta cerita, yang kisahnya terkumpul dari kepingan-kepingan jejak ingatan masing-masing warga dan peziarahnya.
Sekali lagi, hari ini saya belum bisa meng-espresso-kannya dalam segelas tulisan. Padahal jauh-jauh hari sebelum ini, kerangkanya telah ditulis, alurnya telah direncanakan, bahkan sampai gambar-gambarnya telah dipilih. Seumpama lidah, jari-jemari saya akan selalu berubah kelu tiap ingin bercerita tentang Ruteng; mirip Adam yang tertatih gagu sesaat setelah memakan segigit buah terlarang.
Sebagai bentuk usaha terakhir untuk bercerita tentang Ruteng, izinkanlah saya menyampaikannya dalam sebuah lagu. Pun kalau lagu ini tak lagi mampu, saya akan mencobanya sekali lagi di lain waktu. Mudah-mudahan, kata-kata magis yang terekam di beranda situs Green Turtle Dreaming bisa ikut membantu: “Remembering is not a random act; to sing, dance, paint or carve is to remember.”