Di kamar kos yang sama, di pandangi dua kotak merah Gudang Garam, ada sebentuk doa dari tahun-tahun penuh cinta, yang kembali meluncur lewat celah bibir cokelat sewarna nikotin: “Mori, Poro te le nerap momang Dite, sikas ringang, wurs rucuk, agu kando koes dango mose dami one leso weru ho’o…”Para Pekerja di Kebun Apel de Mori, Memoirs of an addict.
Orang Manggarai melihat Mori Kraeng sebagai pencipta, pemelihara, dan pemilik segala sesuatu. Mori Kraeng merupakan penyebab segala yang ajaib di alam jagad raya ini, pemberi hal-hal yang buruk, pemberi kekuasaan, dan pemberi ilmu pengetahuan.
Mori Kraeng pula yang memberikan kesejahteraan dan kemakmuran serta menghukum orang-orang yang jahat. Dia pula yang menentukan umur seseorang. Dengan pandangan seperti ini, maka segala tindak-tanduk manusia Manggarai selalu memperhitungkan hubungannya dengan Mori Kraeng.
– J.A.J Verheijen: Wujud Tertinggi Dalam Pandangan Masyarakat Manggarai, Flores, NTT.
“Dalam tahun-tahun kritis, saya pernah enggan bertemu Tuhan.” Mengawali sebuah paragraf pembuka dengan kalimat seperti itu memang keterlaluan. Apa boleh dikata, begitulah kenyataannya. Saya memang pernah enggan bertemu Tuhan. Tak pernah lagi ke Gereja di hari minggu, yang jelas-jelas melanggar satu dari sepuluh Hukum-Gunung-Sinai dan lima-perintah-gereja.
Tak pernah lagi berdoa sebelum dan sesudah makan atau sebelum dan setelah bangun tidur, hal yang selalu diajarkan dan ditekankan sejak kecil hingga paruh usia dua puluhan. Di masa-masa itu, saya bahkan mati-matian berusaha untuk tidak mengucapkan “Tuhan, tolong saya kah..”, saat menghadapi masa-masa tersulit dalam hidup.
Tahun-tahun itu memang benar-benar titik terendah dalam hidup; tahun-tahun kritis. Tidak punya siapa-siapa untuk diajak bercerita tentang pahit dan manisnya hidup di perantauan. Benar-benar sendiri. Satu-satunya teman yang selalu menjadi saksi bisu sekaligus teman setia adalah ruangan 3 x 4 meter dan kotak merah 4 x 10 centimeter: yang pertama adalah kamar kos, sedangkan yang kedua adalah bungkus rokok filter.
Di belantara metropolitan Jakarta, di tempat di mana tidur semalam dihargai 325ribu dan pipis pun dinilai dengan gemerincing 500 perak ke dalam kotak sumbangan, kamar kos yang dibayar dengan keringat dan peluh adalah istana sekaligus tempat pengasingan paling nyaman.
Saat keluar dari istana 3 x 4 meter itu, jika berpapasan dengan wajah-wajah asing dari berbagai penjuru nusantara yang menyimpan tatapan curiga sekaligus acuh-tak acuh, Gudang Garam Filter adalah teman yang terbukti paling setia untuk diajak bercanda: tak banyak cakap, tidak banyak protes, tanpa curiga, juga tidak menuntut yang bukan-bukan, kecuali limaribu rupiah tiap kali diajak jalan: “Mbak, beli filter separuh.”
Tahun-tahun itu, Tuhan dianggap ‘seakan’ tak ada. Lebih menghemat waktu, karena tak usah ke gereja tiap hari sabtu atau minggu: duduk saja di kamar kos, di depan televisi, ada program Barclays Premiere League yang lebih menarik ketimbang khotbah pastur. Lebih menambah waktu tidur, waktu makan, dan waktu merenung, karena tak usah membuat tanda salib serta meditasi atau renungan yang toh pada akhirnya hanya dialog dengan diri sendiri di ujung kursi panjang warteg atau di sudut kamar kos yang sepi.
Lebih punya sumber kekuatan nyata yang bukan Mori Kraeng: Gugup sebelum tampil: tarik rokok. Nervous saat bertemu atau bertamu: bakar rokok. Bingung kerjakan tugas atau kerjaan: cari rokok. Tak tahu harus curhat ke siapa: banyak-banyak rokok. Tidak punya makanan hari ini: minum segelas kopi, ambil puntung sisa, duduk di depan beranda. Harus cari solusi bagaimana: nayalakan rokok, jalan-jalan keliling, nanti juga ide muncul sendiri.. Ah, betul-betul tahun-tahun kritis. Tahun-tahun tabu menyebut kata Tuhan.
Seperti juga hari ini, belum lepas seminggu setelah Paskah dan ada sesuatu yang terjadi. Empat belas batang tembakau amblas menjadi abu dalam asbak. Hadeh!! Tuhan, tambahkanlah iman kami.*