Narareba.com – Dulu, semasa kecil, saya akan sangat senang sekali jika diajak bapa untuk misa hari minggu di gereja paroki Kumba.
Karena kesempatan itu tidak selalu ada. Lebih sering, bapa harus menjadi petugas liturgi atau ikut membantu ini-itu saat perayaan. Jadinya, tidak setiap minggu ada kesempatan bisa duduk bersama bapa di gereja.
Setidaknya, itu yang masih terekam tentang ingatan usia 4-6 tahun.
Saat itu, satu-satunya irama nyanyian yang saya hafal adalah tanggapan doa umat. Aslinya berbunyi: “Kami mohon padamu Tuhan, kabulkanlah doa kami”.
Tetapi, “Kabul” adalah kata yang tidak ada dalam perbendaharaan kosa kata saya di usia-usia itu. Satu-satunya yang saya pahami adalah kata “Kabur”.
Jadilah. Setiap saya menyanyi dengan suara yang paling keras (mengingat cuma itu irama yang bisa saya nyanyikan), bunyinya menjadi: “Kami mohon padamu Tuhan, kaburkanlah doa kami.”
Itu pengalaman saya pertamakali merasa diri sebagai ‘penyanyi’. Meskipun setiap kali menyanyi, umat lain akan menoleh sambil senyam-senyum menahan tawa..
Dan, bapa tidak pernah menyalahkan atau marah. Mungkin, di matanya dan di mata orang-orang, saya masih terlalu kecil, saat itu.
Saat pulang di 2019 lalu, bapa sempat bercerita tentang pengalaman itu: tentang Ino kecil yang menyanyikan ‘kaburkanlah doa kami’. Saya menanggapinya dengan: saya masih ingat, bapa.
—
Di hari-hari belakangan, ingatan tentang kejadian itu muncul lagi. Entah bagaimana, nada-nada “Kaburkanlah doa kami” berseliweran dengan tema soal tambang dan tragedi Besipae di NTT.
NTT. Nanti Tuhan Tolong. Cuma, mungkin dulu saat berdoa minta Tuhan tolong NTT, bunyinya beda: “Kami mohon padamu Tuhan, Kaburkanlah doa kami.”
Maka jadilah petang dan pagi.*