likang-telu

Tatapan itu tajam. Menusuk sekaligus menelanjangi. Sejenak, aku merasa kau seolah memeriksa, apakah tahi lalatku masih pada tempatnya atau tidak.

Sejujurnya, aku tak pernah merasa nyaman ditatap seperti itu: sepasang mata bola dari balik jendela hati, meloncat masuk ke hati lainnya tanpa permisi. Untuk beberapa detik, aku sempat berharap, semoga mataku bisa dipindahkan ke punggung belakang atau ke manapun, asalkan bukan di muka.

Aku tidak seperti kau, selalu bisa menyembunyikan sepasang mata di balik rambut yang tunduk terurai. Juga tidak seperti kau, selalu mengalihkan pandangan ke lain penjuru, saat aku membubuhkan tanda tanya di masing-masing bola mata.

Apa khabar?” tanyaku membuyarkan tatapanmu.
Baik. Kamu sendiri?
Lumayan.

Dan kebekuan pun kembali berlanjut.

Ingatanku sejenak melayang ke STKIP Ruteng|Manggarai, 1996. Kejadiannya persis sama. Di depan kelas kursus bahasa Inggris, seorang putri cilik bermata sipit berhadapan dengan anak kampung yang selalu berjaket:
How are you?” dia bertanya dalam logat yang tak pernah terdengar di antara teman-teman kecilku di kampung Langgo, Ruteng.
Fine, and you?
Never better” ucapnya diakhiri senyuman manis.

Dialog itu diakhiri dengan tepuk tangan saat kami kembali ke bangku masing-masing.

Ya, latihan berdialog tak pernah sama dengan dialog yang sesungguhnya. Tak pernah sama: minus perasaan, minus pertaruhan harga diri, minus pertarungan ego, minus pengungkapan kebenaran.

Begitupun saat kita ‘melatih’ kebersamaan. Latihan kebersamaan, tak pernah sama dengan kebersamaan yang sesungguhnya: selalu minus persaan, selalu minus pertaruhan harga diri, selalu minus pertarungan ego, selalu minus.*

Aku pernah bilang sebelumnya, jika suatu saat kita kembali bertemu, jangan pernah tanyakan “Apa khabar?”. Kita sama-sama tahu, bahwa jawaban “fine, and you?” adalah bahasa lain dari “Ohh, untuk apa pura-pura masih peduli?” Itu sangat menyakitkan; bagiku, entah untukmu.

Dan, semoga bisa jadi pelajaran juga: jangan lagi kita berjabat tangan. Aku juga masih punya malu, saat mengulurkan tangan dengan tulus dan kau menyambutnya dengan enggan. Entah kenapa, aku merasa saat itu jarimu berbisik: “Maaf, kita bukan muhrim.”

Aku tak mau semuanya itu terulang dengan cara yang sama, dengan rasa sakit yang serupa. Kurasa, kita sama dalam hal ini. Mari kita sama-sama membuat kesepakatan. Seperti juga di tiap-tiap sidang kehormatan para anggota dewan di gedung kura-kura.

Seperti juga di tiap-tiap rapat kecil para intelektualis maupun para profesional muda. Mari kita buat kesepakatan, kita buat tata tertib; bukan tata tertib sidang, bukan tata tertib rapat. Ini tata tertib kita. Biar nantinya kita tetap bisa bercengkrama tanpa memendam dendam.

Biar nantinya kita masih bisa berbagi tanpa harus menguliti kebenaran cerita. Biar nantinya kita bisa terbuka tanpa harus berharap ada kepedulian yang penuh. Biar nantinya kita bisa saling menatap tanpa harus saling menelanjangi.

Mari, Monggo.
Selamat menikmati akhir pekan.

Artikel SebelumnyaMemperjuangkan Nara Reba Manggarai di Mata Google
Artikel BerikutnyaSemalam, Hari Ini, Setelahnya #1