Gagal untuk bersikap seolah-olah gagah, aku melewati sosoknya dengan pandangan tertunduk ke lantai sambil membunyikan “Haii” dengan lidah kelu.
Por todos los santos!! Tiga bulan pandemi mengubah pita suaraku jadi kaset kusut.
“Kenapa bisa begini??” rutukku dalam hati. Padahal, sejak jauh-jauh hari aku telah berlatih mengahadapi momen seperti ini.
Berlatih untuk terlihat kalem kalau akhirnya jalan hidup mempertemukan kembali. Berlatih untuk terlihat cuek kalau ternyata dia semenakjubkan yang tercetak di foto-fotonya.
Dan, gagal.
Apakah pandemi telah melumpuhkan saraf cakap-cakapku yang sejak semula memang berawal tumpul?
Tidak juga. Toh dengan yang lainnya aku bersikap wajar, sewajar orang-orang yang baru bertatap muka lagi setelah berbulan-bulan mengurung diri.
Hanya di hadapannya. Yang berdiri di bukaan pintu. Tinggi semampai. Anggun dalam atasan zebra cross dan balutan celana biru palung laut. Dengan senyuman manis. Semanis yang selalu kuingat dari cetakan Instagramnya.
Megap-megap seolah akan tenggelam, aku duduk di beranda. Mencari udara segar sambil menyulut sebatang kretek. Berharap, semoga itu akan mengembalikan kewarasanku yang kabur entah kemana.
Benar saja.
Beberapa saat kemudian, dia muncul. Menawarkan kopi dan percakapan. Di beranda, sambil memandangi pendar sinar bulan di bubungan langit Jakarta.
Lalu, rerangkaian cerita pun mengalir.
Nothing is better than a girl who writes code, they said. That’s 1 of the 7 reasons why you are still single, they said.
Amigos.. Finally, I’ve met the one.
*Mona Lisa via Decan Herald – Menuju new normal.