Soal Pandemi dan Patah Hati, Sampai Kapan?

SoalPandemidanPatahHati2CSampaiKapan

Istilah itu benar, ‘New Normal’. Benar untuk membedakan, ternyata ada yang tidak bisa jadi ‘orang normal’ selama pandemi. Betapa PSBB membuat sebagian orang kehilangan ‘kewarasan’.

Hilang waras karena masih terpaku dengan kebiasaan lama, padahal Covid sedang merajalela. Hilang waras karena tak sanggup berbuat apa-apa, merasa tak punya harapan lagi saat ini dan nanti.

Lalu, seperti apa ‘menjadi normal’ di masa pandemi? Apakah cukup hanya dengan ‘protokol kesehatan’? Tidak semudah itu, Julaiha.

Jadi, tolong. Jangan berbicara tentang ‘move on’ dan melanjutkan hidup, jika di masa pandemi ternyata dirimu belum bisa menemukan bentuk kewarasan yang purna.

Juga, tolong. Jangan lagi bicara tentang ‘segeralah menikah’. Karena patah hati itu seperti pandemi. Tidak cukup dengan ‘memakai masker’, ‘cuci tangan’, ‘jaga jarak’, atau ‘siap divaksin’.

Biar saja kita bicara soal hal-hal remeh. Semisal, apakah kamu mampu tertidur nyenyak meski sedang di tengah badai dan duka lara.

Biar saja kita bicara tentang hal-hal receh. Semisal apakah kamu masih bisa tersenyum setelah mengingat alur mimpi, meski cuma dari lelap yang sebentar.

Entah itu di angkot. Di kasur. Di tempat kerja. Atau, di sudut negeri yang belum terjangkau paket data.

Soal pandemi dan patah hati sampai kapan, cukup Tuhan saja yang tahu.*

Exit mobile version