Ya, ada. Gili Trawangan atau Bingin, misalnya. Atau, akhir-akhir ini, Labuan Bajo.
Saat memasuki toko-toko di tempat-tempat semacam itu, akan muncul perasaan yang sedikit ‘aneh’. Jika ada anggapan bahwa ‘pembeli adalah raja’, kamu hanya dianggap seolah dayang-dayang. Bukan pembeli berkemampuan Dollar, Yuan, atau Yen.
Pun penjual kain di tepi pantai akan menawari dagangannya dengan: “Kalau untuk turis biasanya 200-300ribu, tapi untuk abang, 100ribu saja.”
Aisshh!!
Saat mengalami atau mengingat pengalaman seperti itulah, ungkapan “Valentine bukan budaya kita” bisa dimaklumi. Pun bila itu diterjemahkan dengan “Hari Kasih Sayang”.
Sama dengan penolakan emak dan bapak terhadap “Halloween Day”. Karena itu bukan-budaya-kita. Bukankah kita di Indonesia punya setan dan hantu yang lebih sangar? Sebut saja kisah “KKN di Desa Penari” yang viral itu.
Pertanyaan yang kemudian mengikuti adalah: Lalu, apakah budaya kita?
Susah juga.
Karena masih ada perasaan semacam ‘akan terkesan lebih berkelas’ memakai tuxedo atau gaun ke sebuah jamuan ketimbang hanya berbatik atau berkebaya.
Karena masih ada perasaan semacam ‘akan lebih mewah’ dibawakan oleh-oleh dari London ketimbang dari Surakarta.
Karena masih ada perasaan semacam ‘akan lebih bergengsi’ punya ijazah Havard tinimbang universitas dalam negeri, apalagi kampus di kota sendiri.
Perasaan-perasaan semacam itu, mungkin muncul karena produk luar negeri lebih berkualitas. Atau, mungkin juga karena kita kelewat lama dijajah lantas terbiasa.
Terbiasa dengan narasi bahwa rumput di halaman tetangga akan selalu tampak lebih hijau.
*Badung. Februari 2020.