Close Menu
    Facebook X (Twitter) Instagram Pinterest YouTube
    Narareba.com
    • Beranda
    • Peristiwa
    • Narapedia
      • Tanaman
      • Karakter
    • Catatan
    • Galeri
    • Lirik
    Subscribe
    Narareba.com
    You are at:Beranda - Sastra - Pamitan Yudas
    Sastra

    Pamitan Yudas

    06/04/20113 Mins Read
    Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Email
    PamitanYudas-JuhaArvidHelminen
    Share
    Facebook Twitter LinkedIn Pinterest Email

    Pernah membayangkan, bagaimana kehidupan Yudas seandainya dulu ia tidak mati gantung diri setelah mengkhianati Yesus? Mati segan, hidup tak mau. Mungkin. Pamitan Yudas adalah puisi tentang itu, tentang kehidupan setelah meninggalkan Sang Guru. Tentang Adam (atau Hawa), setelah taman Eden.

    Sastra membawa kepada yang ekstrem. Sebab, lebih baik mati di tengah samudera raya daripada tenggelam di dalam sebuah kubangan – Alexander Solschenizyn
    • Pamitan Yudas
      • Diperbaharui pada Februari 2015

    Pamitan Yudas

    Lampu yang mati kunyalakan, lagi..
    Malam kembali menggoda
    dengan dingin rangkulannya,
    masuk melalui celah ventilasi tanpa pernah diundang..

    Ia yang cepat-cepat beranjak saat
    kokok ayam mengancam akan melapor pada matahari..

    Ah,
    menggigit kuku tak pernah terbukti menyelesaikan masalah
    apapun.

    Toh aku juga tak pernah menyalahkan kodrat
    yang melarang Adam menangis saat dihukum
    hanya karena menggigit sejumput apel..

    Pantas kebanyakan orang tak pernah butuh gunting kuku…

    Berselingkuh dengan kegelapan memang tak pernah
    menguntungkan
    Begitu kata sebagaian besar guru..

    Bodohnya, aku kelewat banyak tertidur dan tak memberi
    sedikit ruang bagi suara mereka untuk mengetuk
    genderang telinga kesadaranku..

    Saat abu sudah kelewat tertiup angin pagi,
    Saat embun terlanjur menguap terbirit-birit dikejar terik siang,

    Baru kubuka sampul diktat dan terkejut menemukan (lagi)
    Heidegger tersenyum dengan wajah acuh tak acuhnya..
    kali ini bukan tentang

    Manusia adalah Ada menuju Kematian..

    Ketaktersembunyian diakuinya sebagai Kebenaran..

    Malam, aku pulang..

    Esok, esok malam..
    Lupakan aku, atau siapapun dari diriku
    yang pernah kau kenal

    Saat kita..

    aku dan bintang,
    aku dan bulan,
    aku dan gonggongan anjing

    aku dan layar komputer..
    aku dan tukang nasi goreng..
    aku dan nomor-nomor asing..

    aku dan sorakan suporter..
    aku dan nyamuk-nyamuk..
    aku dan diktat-diktat..
    bercumbu dalam apa yang pernah
    Sang Dia teriakkan:

    “Bapa, ampunilah mereka,

    sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”

    Diperbaharui pada Februari 2015

    Tanya pengalaman setiap “mantan” seminaris atau frater, perbedaan apa yang mereka rasakan di seminari dan “di luar” seminari1Keterangan tentang Seminari, silahkan baca catatan kaki di artikel ini: Tolong, Jangan Tambah Satu Lagi: metode pendidikan, suasana studi, ketenangan bathin, kehidupan rohani, kebersamaan, pengembangan diri, dan lainnya? Kalau pertanyaan yang sama ditanyakan di sini, jawabannya kira-kira begini: pengalaman di seminari ada di Catatan Yudas2Puisi Nara Reba sebelumnya: Catatan Yudas; setelah di luar seminari ada di puisi ini – Pamitan Yudas.

    Ini adalah puisi yang ditulis di malam-malam insomnia, di keremangan sebuah kamar kos di sudut belantara Jakarta. Jauh setelah meninggalkan Kisol, beberapa tahun setelah beranjak dari lembah Pagal, tak lama setelah pamit dari Novisiat transitus Depok. Ada perasaan kehilangan yang dituangkan, juga kerinduaan terpendam yang hingga kini masih tersimpan di kedalaman hati: keinginan untuk kembali.

    Saat catatan tambahan ini ditulis, saat cukup banyak jeda waktu untuk merenungkan keseharian di belantara dunia “awam”, Pamitan Yudas dan perasaan yang dituangkan di dalamnya akhirnya dilihat sebagai bagian dari perjalanan hidup. Ada rasa syukur yang menyertainya: ucapan terimakasih kepada Sang Guru, yang telah membukakan pintu kesempatan untuk sejenak merasakan pengalaman dan kebersamaan dengan orang-orang pilihannya3 Baca catatatan tentang pengalaman kami di Kisol dalam artikel Lemorai: Perantau Yang Kembali.

    Mengulang apa yang pernah diungkapkan Risal, kawan karib yang kini jadi pengajar Matematika di Seminari Kisol, saat sedang berdupa di Evergreen belakang asrama: “Banyak yang dipanggil, sedikit yang dipilih, Eces yang menentukan.” Tambahannya: kita yang memutuskan, untuk menjalaninya atau tidak.

    Catatan Narareba:

    • 1
      Keterangan tentang Seminari, silahkan baca catatan kaki di artikel ini: Tolong, Jangan Tambah Satu Lagi
    • 2
      Puisi Nara Reba sebelumnya: Catatan Yudas
    • 3
      Baca catatatan tentang pengalaman kami di Kisol dalam artikel Lemorai: Perantau Yang Kembali
    Narareba Puisi Refleksi
    Previous ArticleCatatan Yudas
    Next Article Berawal Dari Cinta Separuh

    Related Posts

    Bila Perlu, Menangislah Sampai Habis

    23/02/20213 Mins Read

    Antara Pilihan Hidup dan Seni Membaca Takdir

    16/02/20213 Mins Read

    Jika Tulisan Tanganmu Mirip Sekumpulan Cacing Menari

    14/02/20212 Mins Read
    Terpopuler

    Tokoh Terkenal Yang Meninggal Pada Tanggal 4 September

    Peristiwa Sejarah Yang Terjadi Pada Tanggal 20 Februari

    Temukan Rahasia Pangkas Bunga Kantong Semar untuk Tanaman Lebih Indah dan Sehat

    Rahasia Pembibitan Pule Pandak Unggul: Teknik Jitu untuk Tanaman Hias Menawan

    © 2025 Narareba.com
    • About
    • T.O.S.
    • Privacy
    • Contact

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.