Beranda blog Halaman 2452

Langgo: Mendadak Homesick

Langgo Ruteng jembatan bambu

Langgo – Ruteng dan Manggarai pada umumnya punya topografi yang terjal. Banyak siasat dan jurus kehidupan yang lahir untuk menghadapi kenyataan itu, semisal siasat “sawah berundak-undak”1Istilah “sawah berundak-undak ini saya modifikasi dari ingatan tentang pelajaran sejarah masa kecil, tentang nama sebentuk bangunan beserta artinya, yang harus dihafalkan mati-matian sebelum ulangan pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS): Punden Berundak-undak. Dulu, saat kecil melihat gambar punden berundak-undak dari buku IPS tanpa pernah menjumpai langsung bentuk sebenarnya membuat saya mem-visualisasikannya seperti tingkatan-tingkatan petak sawah di Manggarai. Lahirlah ungkapan itu dalam benak: sawah berundak-undak. Bandingkan terjemahan kata undak menurut KBBI Online yang kerap jadi objek agrowisata para turis mancanegara.

Jembatan penyeberangan lage ngalor (melewati sungai) hanyalah satu dari sederet siasat unik lainnya. Langgo: Mendadak Homesick adalah cerita tentang itu; tentang Jembatan Bambu di depan rumah.

Uwa haeng wulang, langkas haeng ntala“, sebuah ungkapan akan cita-cita serta usaha untuk meningkatkan taraf hidup, sekaligus menjadi sebuah doa ke hadirat Tuhan agar kiranya memperoleh kesehatan badan dan jiwa. – Peribahasa Manggarai

Mendadak Homesick

Entah kenapa, penyakit itu baru mucul belakangan ini. Semuanya seakan hadir lagi dalam bayang-bayang berkelebat: di kampus, di kos, di mimpi, di lamunan, di layar komputer … bahkan kadang di screen ha-pe. Fenomena psikologis? Deja vu? Firasat? Atau hanya sekadar bujukan alam bawah sadar yang muncul ke permukaan? ~ ~ ~

Dulu, Langgo-Ruteng (Manggarai, Flores, NTT) adalah jalur tol-nya para pencari ‘haju sorok’2Haju Sorok: Kayu (bakar) yang diangkut dari hutan dengan cara ditarik (atau digelindingkan) menggunakan tali. Haju sorok biasanya berupa batang kayu gelondongan yang besar dan panjang. Hasil hutan yang satu ini didapat dengan cara menebang pohon besar yang masih hidup atau pohon yang sudah mati tapi belum tumbang. Batangnyalah yang diangkut sebagai haju sorok oleh para pencari kayu bakar untuk kemudian dibawa ke rumah lalu dibelah kecil-kecil sebagai bahan kayu bakar. karena medannya yang unik: tanah merahnya yang licin dan terjal – meski sontak berubah jadi daratan-curam -rawuk (ber-debu) berwarna cokelat kelabu saat kerontang tiba. Rekan-rekan seperkawehajuan3Seper-kawehaju-an: Kawe Haju = mencari kayu. Istilah seperkawehajuan yang digunakan di sini merujuk pada kelompok atau tim pencari kayu bakar di hutan. Saat kecil, kami mencari kayu bakar di hutan-hutan sekitaran kota Ruteng secara berkelompok. Selain demi alasan keamanan, kelompok pencari kayu bakar ini adalah lingkaran teman bermain atau lingkaran anak-anak yang tinggal dalam satu kompleks. Istilah seperkawehajuan ini bisa juga diterjemahkan menjadi kawan-kawan sesama pencari kayu bakar. dari Kumba, Wae Buka, Cuncalawar, ataupun Cepang, sejak lama sepakat bahwa daerah kami yang terjal itu adalah jalur gelinding paling cepat untuk mengangkut pulang haju sorok dari hutan di bukit selatan kota.

Terjalnya topografi Langgo itu jugalah yang  membuat setiap rumah wajib menyediakan ‘jembatan penyeberangan mini’ demi melintasi got-got yang lumayan lebar. Ya, medannya yang terjal menuntut setiap gang di Langgo mempunyai dua jalur got yang lumayan lebar: di kiri dan di kanan lajur gang. Jalur got inilah yang menjadi saluran air yang mengalir mulai dari puncak perbukitan untuk kemudian bermuara di Wae Ngkeling, Wae Dimpong, dan Wae Decer.

Langgo Ruteng - Manggarai - Flores - NTT

Saat pulang kampung tahun 2009 (dan Natal 2014), jembatan bambu di atas jalur got depan rumah masih menyambut dengan gagah. Jembatan made in sendiri keluaran tahun ’93 itu masih utuh melintang; meski satu-dua bilahnya telah lapuk termakan peradaban. Dulu, saat kecil, jembatan itulah yang sering jadi markas paling aman untuk bersembunyi dari teriakan-teriakan khas, semisal:

Seputaran ‘Wae Teku’

“Nana, ngo teku wae di, kosong’s jerigen so’o musi ga..” Aslinya, dalam versi dialek Manus4Dialek Manus. Mama saya berasal dari daerah Mukun di Kabupaten Manggarai Timur. Dalam percakapan sehari-hari, Mama jarang menggunakan bahasa Manggarai, melainkan bahasa Manus, untuk berkomunikasi secara akrab dengan kami (Saya dan ketiga adik, serta Bapa). Boleh dibilang bahasa Manus adalah Mother Language saya dan ketiga saudara saya, sebab dalam bahasa itulah kami berkomunikasi dengan Mama. Meskipun begitu, hingga hari ini saya hanya bisa memahami bahasa itu, tanpa pernah fasih mengucapkannya secara verbal dalam percakapan. Penjelasan tentang dialek / bahasa Manus, dapat ditemukan di ini, blog seorang Putra Manggarai Timur. kira-kira seperti ini: “Nana, to’o teku wae’ di ghau sekoe’n, tedung gha’ay waen musi jerigen.” Versi terjemahan: “Nana, pergilah menimba air, jerigen air sudah kosong. ”

Waktu itu masih zamannya ‘air paroki’ yang kadang mati-hidup. Sudah begitu, pipa yang cuma satu itu pun dikerubuti bukan hanya oleh para pengisi jerigen, tapi juga oleh kumpulan penggosip ngasang data (penggosip nama orang) atau antrian anak-anak asrama yang menjadikan “keran air” sebagai ruang pubik paling privat setelah lapangan STM Bina Kusuma.

Ah, masa-masa itu sudah lewat. sekarang tiap rumah sudah pake air PDAM. Tak ada lagi suka-duka di keran air satu-satunya. Tak akan ada lagi tontonan menarik: memandangi sekelompok anak kecil bermain gelembung sabun sisa cucian para ‘mama’ di wae teku.5Wae Teku = Air Timba / Sumber Air (Wae: Air/Sungai – Teku:Timba). Wae Teku di sini berarti tempat menimba air, meskipun arti sebenarnya dari kata itu mewakili makna yang lebih luas dan mendalam bagi masyarakat Manggarai. Sumber air (wae bate teku) memiliki hubungan tak terpisahkan dengan empat pokok lainnya yang menjadi pilar kehidupan orang Manggarai yakni, rumah (mbaru bate kaeng), halaman (natas bate labar), mezbah persembahan (compang bate dari), dan kebun (uma bate duat)

Ya, miris juga ketika tahu bahwa ada kenangan yang hilang saat iklan itu terbukti benar: “Sekarang sumber air su dekat. Beta sonde pernah terlambat lagi. Lebih mudah bantu mama ambil air untuk mandi adik. Karna mudah ambil air, katong bisa hidup sehat.6Jingle video promosi Aqua – Danone, “Satu Untuk Sepuluh” yang pernah populer di awal tahun 2000-an. Di perantauan, gara-gara iklan ini, kami yang berasal dari Timur Nusantara sering dianggap sebagai perantau Ibukota yang datang dari negeri gersang nun jauh di sana. Ais, mereka tir tau…

Drama ‘Tutur Tinular’

“Nana, toe ngo sekolah hau bao?” Aslinya, dalam versi dialek Manus kira-kira seperti ini: “Nana, toe to’o skola ghau wero?” Versi terjemahan: “Nana, tadi kamu tidak ke sekolah?”

Drama Radio Tutur Tinular7Tutur Tinular: sebuah drama radio legendaris karya S. Tidjab yang diputar di Radio Suara Pemerintah Daerah Manggarai (RSPD) – dulu namanya Radio Pemerintah Daerah (RPD) Manggarai – pada tahun 90-an. Drama ini berkisah tentang perjalanan hidup dan pencarian jati diri seorang pendekar yang berjiwa ksatria bernama Arya Kamandanu berlatar sejarah runtuhnya Kerajaan Singhasari dan berdirinya Kerajaan Majapahit. Bandingkan, Wikipedia: Tutur Tinular adalah pembujuk paling ampuh – selain ‘ngo kawe haju awo rongket pake oto proyek’ – untuk bolos sekolah. Tidak ke sekolah berarti bencana. Itu sama dengan kejahatan “merusak antena tivi tetangga dengan alasan menurunkan layang-layang yang tersangkut.” Bapa pasti marah besar.

Bukan sekali dua kali Bapa marah gara-gara bolos sekolah demi menguping drama Tutur Tinular dari radio tetangga. Kadang, saat puncak marahnya sudah tak bisa ditahan, kata-kata pamungkasnya keluar juga: “Jiri apa keta peng anak koe ho’o tai?!” (akan jadi apa anak ini nanti?! Bdk. Lukas 1:66).

Cerita tentang kepahlawanan Arya Kamandanu dan cintanya pada Mei Shin serta rangkaian kisah bernuansa sejarah mulai dari Kediri hingga Majapahit dalam Tutur Tinular, saat itu dianggap sebagai “pelajaran hidup” yang lebih menarik untuk disimak ketimbang pelajaran sekolah. Bukan sekali dua kali juga, pertentangan batin untuk ke sekolah atau menunggu jam RPD menyiarkan drama radio itu akhirnya dimenangkan oleh keputusan: tak apa dimarahi bapa, asal episode hari ini tidak dilewatkan.

Lagi-lagi, kolong jembatan bambu adalah tempat bersembunyi dalam diam sambil menunggu satu siang, jam pulang sekolah. Waktu tempuh antara SDK Kumba I dan rumah sebelumnya telah dihitung dengan persis. Kepala pun akan disembulkan dari bawah jembatan, saat “waktu biasanya pulang” akhirnya tiba. Bapa mungkin jarang tahu, tapi tatapan mata mama dan pertanyaannya selalu membuat mati kutu: “Nana, toe to’o skola ghau wero?” Skak mat!!

‘Petugas Jaga’ Kios

“Nana, ngo jaga kios di cekoen.” Aslinya, dalam versi dialek Manus kira-kira seperti ini: “Nana, to’o zelong ame’n kios igha eta sekoe’n. Poli reok ute di pi to’o eta kios mama titu.” Versi terjemahan: Nana, gantikan mama untuk menjaga warung, sebentar saja.

Apalagi yang satu ini. Menjaga kios berarti, tinggal di antara tumpukan kacang dan permen tanpa bisa menjejalkan salah satu dari antara jajanan penggoda itu ke dalam mulut sendiri. Jaga kios juga berarti, terkunci dalam pondok kecil persegi sepanjang sore dan menyaksikan teman-teman bermain layangan atau bermain kelereng, tanpa boleh ikut bergabung.

Jaga kios, waktu itu (untuk seorang anak yang belum bisa memahami betapa sulitnya mencari uang) berarti menyia-nyiakan waktu bermain yang sangat berharga, demi menunggu lakunya sebungkus kacang cup-cup atau sebatang bombon lidi. Sakitnya tuh di sinii… Ufh..

Ruteng, Flores, NTT

Jembatan Bambu Itu

Jembatan bambu itulah yang selalu jadi tempat persembunyian paling aman. Tak ada yang pernah tahu kalau got di bawah jembatan adalah bunker rahasia yang bahkan tak pernah dibayangkan oleh Oom ketua lingkungan Regina Pacis sekalipun. Beliau sering bingung tiap kali mencari tahu anak diong keta ho’ote (anak siapakah yang) membidikkan katapel ke arah burung gereja yang bertengger di bubungan rumah-nya..

Sampai suatu saat, ketiduran di bawah jembatan itu membawa musibah. Sore-sore, ada anak asrama yang numpang kencing di pinggir got. Airnya mengalir sampai ke bawah jembatan. “Ueee…ekkk…”

Sejak itu, si kolong Jembatan Bambu tak pernah lagi jadi tempat tidur kedua setelah kasur. Tak pernah lagi jadi tempat persembunyian prioritas selain ‘mbaru dise Chen‘ (Rumah-nya Chen – teman sepermainan). Juga tak lagi jadi tempat membalas umpatan yang tak terucapkan. Karena ternyata tempat itu juga menjadi jalur “pembuangan akhir” dari pihak-pihak yang tak bertanggungjawab.

Ah, tapi justru di sanalah puisi-puisi pertamaku lahir dan tercipta …

Diperbaharui pada Februari 2015

Setelah empat tahun, artikel ini direvisi: dipercantik dengan gambar dan peta, dan ditambahkan satu-dua komentar kecil ke dalamnya sembari menjaga batas untuk tidak merombak gaya aslinya. Harus diakui, ini pekerjaan yang tidak mudah. Diposting pada 07 April 2011, di-makeover pada 12 April 2015. Ada rentang waktu empat tahun yang tidak sedikit. Tentu saja salah satu efeknya adalah, ketika membaca tulisan ini sekali lagi, ada desakkan kuat untuk menghapusnya dari arsip Nara Reba.

Alasannya simple, tulisan ini kelewat sederhana karena memang dulunya ditulis di saat-saat iseng, ketika perasaan rindu akan kampung halaman begitu kuat dan tak tahu harus membagikannya dengan siapa atau bagaimana. Tulisan ini pun tercipta dengan unik: ditulis tanpa peduli, apakah isinya dimengerti pembacanya atau tidak – yang penting isi hati tercurahkan. Tautan antar-paragrafnya pun lemah: rindu pulang, Langgo, jembatan bambu, haju sorok, ingat mama, dan kenangan masa kecil. Yang penting jadi, masalah selesai, titik.

Setelah bergumul selama dua hari penuh, dengan cara apa artikel ini ditampilkan kembali dengan “wajah baru” tanpa menghilangkan karakter aslinya empat tahun lalu, akhirnya ide pun terbentuk. Bagaimana menghadirkan sebuah tulisan lama dengan cara yang baru dan lebih informatif, tanpa mengubah isi serta gaya cerita? Aha!! Maka, jadilah petang dan pagi. Di hari ketiga, tulisan ini akhirnya lahir dengan wajah baru. Oh ya, artikel aslinya masih bisa dilihat di sini: Academia Nara Reba. Silahkan bandingkan versi lama dan versi barunya.

Tentu masih banyak pertanyaan yang tersisa, seandainya Anda singgah di halaman ini untuk mencari informasi yang lebih lengkap tentang Langgo atau pun tentang kota Ruteng, kota di kaki barisan pegunungan Sirkum Pasifik. Akan tiba waktunya nanti saya akan membahas tentang itu dalam sebuah “tulisan baru”. Untuk saat ini, jika ada pertanyaan yang ingin disampaikan, silahkan dititipkan di kotak komentar. Sebisanya akan saya jawab.

Saya teringat dengan isi pesan salah seorang sahabat dari luar negeri yang beberapa waktu lalu mengirimkan pesan atas postingan ini: Hy, Nara. Are you from Flores? I am a journalist preparing a trip to Flores and I am looking for information on language and culture of the island. Unfortunately there is very little valuable data on the Internet. Can I ask you for a little guidance?

Ya, Langgo: Mendadak Homesick awalnya mungkin hanya catatan iseng yang lahir dari pelampiasan rindu yang membuncah akan sebuah sudut kecil di pinggiran kota Ruteng, Manggarai, Flores. Namun, dengan caranya sendiri, ia telah membantu sejumlah orang menemukan jalan untuk pulang, atau menemukan petunjuk untuk pergi.

Tetapi, ah. Lagi-lagi, Anda mungkin butuh penerjemah untuk membacanya. Sebaiknya dia orang Manggarai. Tak harus penerjemah bersertifikat resmi.

Catatan Narareba:

  • 1
    Istilah “sawah berundak-undak ini saya modifikasi dari ingatan tentang pelajaran sejarah masa kecil, tentang nama sebentuk bangunan beserta artinya, yang harus dihafalkan mati-matian sebelum ulangan pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS): Punden Berundak-undak. Dulu, saat kecil melihat gambar punden berundak-undak dari buku IPS tanpa pernah menjumpai langsung bentuk sebenarnya membuat saya mem-visualisasikannya seperti tingkatan-tingkatan petak sawah di Manggarai. Lahirlah ungkapan itu dalam benak: sawah berundak-undak. Bandingkan terjemahan kata undak menurut KBBI Online
  • 2
    Haju Sorok: Kayu (bakar) yang diangkut dari hutan dengan cara ditarik (atau digelindingkan) menggunakan tali. Haju sorok biasanya berupa batang kayu gelondongan yang besar dan panjang. Hasil hutan yang satu ini didapat dengan cara menebang pohon besar yang masih hidup atau pohon yang sudah mati tapi belum tumbang. Batangnyalah yang diangkut sebagai haju sorok oleh para pencari kayu bakar untuk kemudian dibawa ke rumah lalu dibelah kecil-kecil sebagai bahan kayu bakar.
  • 3
    Seper-kawehaju-an: Kawe Haju = mencari kayu. Istilah seperkawehajuan yang digunakan di sini merujuk pada kelompok atau tim pencari kayu bakar di hutan. Saat kecil, kami mencari kayu bakar di hutan-hutan sekitaran kota Ruteng secara berkelompok. Selain demi alasan keamanan, kelompok pencari kayu bakar ini adalah lingkaran teman bermain atau lingkaran anak-anak yang tinggal dalam satu kompleks. Istilah seperkawehajuan ini bisa juga diterjemahkan menjadi kawan-kawan sesama pencari kayu bakar.
  • 4
    Dialek Manus. Mama saya berasal dari daerah Mukun di Kabupaten Manggarai Timur. Dalam percakapan sehari-hari, Mama jarang menggunakan bahasa Manggarai, melainkan bahasa Manus, untuk berkomunikasi secara akrab dengan kami (Saya dan ketiga adik, serta Bapa). Boleh dibilang bahasa Manus adalah Mother Language saya dan ketiga saudara saya, sebab dalam bahasa itulah kami berkomunikasi dengan Mama. Meskipun begitu, hingga hari ini saya hanya bisa memahami bahasa itu, tanpa pernah fasih mengucapkannya secara verbal dalam percakapan. Penjelasan tentang dialek / bahasa Manus, dapat ditemukan di ini, blog seorang Putra Manggarai Timur.
  • 5
    Wae Teku = Air Timba / Sumber Air (Wae: Air/Sungai – Teku:Timba). Wae Teku di sini berarti tempat menimba air, meskipun arti sebenarnya dari kata itu mewakili makna yang lebih luas dan mendalam bagi masyarakat Manggarai. Sumber air (wae bate teku) memiliki hubungan tak terpisahkan dengan empat pokok lainnya yang menjadi pilar kehidupan orang Manggarai yakni, rumah (mbaru bate kaeng), halaman (natas bate labar), mezbah persembahan (compang bate dari), dan kebun (uma bate duat)
  • 6
    Jingle video promosi Aqua – Danone, “Satu Untuk Sepuluh” yang pernah populer di awal tahun 2000-an. Di perantauan, gara-gara iklan ini, kami yang berasal dari Timur Nusantara sering dianggap sebagai perantau Ibukota yang datang dari negeri gersang nun jauh di sana. Ais, mereka tir tau…
  • 7
    Tutur Tinular: sebuah drama radio legendaris karya S. Tidjab yang diputar di Radio Suara Pemerintah Daerah Manggarai (RSPD) – dulu namanya Radio Pemerintah Daerah (RPD) Manggarai – pada tahun 90-an. Drama ini berkisah tentang perjalanan hidup dan pencarian jati diri seorang pendekar yang berjiwa ksatria bernama Arya Kamandanu berlatar sejarah runtuhnya Kerajaan Singhasari dan berdirinya Kerajaan Majapahit. Bandingkan, Wikipedia: Tutur Tinular

Gatot, Robert, dan Agus

Selain sahabat, ada juga yang namanya benda-sehidup-semati: kemana-mana pasti dibawa pergi. “Gatot, Robert, dan Agus” adalah adalah sebuah cerita tentang itu; bukan kisah epik tetang persahabatan ala The Three Musketeers tetapi tentang kebersamaan dengan sebungkus Gudang Garam Filter.

“I use the cigar for timing purposes. If I tell a joke, I smoke as long as they laugh and when they stop laughing I take the cigar out of my mouth and start my next joke.” – George Burns1George Burns adalah seorang komedian berkebangsaan Amerika Serikat. Ia lahir di New York pada 20 Januari 1896 dan meninggal pada 9 Maret 1996 saat usianya mencapai 100 tahun. Burns adalah satu dari sedikit perokok aktif yang berumur panjang. Uniknya, Google selalu selalu menampilkan foto sang aktor komedi ini dalam posenya yang sedang menggenggam sebatang cerutu. Kutipan di atas adalah salah satu kutipan favotit saya tentangnya, setelah yang satu ini: “If I get big laughs, I’m a comedian. If I get little laughs, I’m a humorist. If I get no laughs, I’m a singer.” Google Book, Burns’s Philosophy.

GATOT: Gagal Total

Gatot. Bukan nama orang. Itu nama yang kuberikan untuk dua minggu sia-sia berjuang menahan keinginan untuk tidak menyentuh pun mencium si ‘Pria Punya Selera’. Roh memang kuat, tapi daging lemah. Kata-kata itu memang bukan hanya untuk kawanan Petrus cs di taman Getzemani dua ribu tahun silam. Itu juga untukku; Yudas Iskariot yang mendupai Bait Allah dengan semerbak gudang Garam Filter.

#TanyaKenapa: Bukankah tubuh kita adalah Kemah Suci?

Semenjak ”Berawal Dari Cinta Separuh” ditelurkan, sekian banyak jampi-jampi telah kucoba. Awalnya berhasil, tapi kemudian gagal dengan sukses, sukses dengan kegagalan. Meskipun aku tahu bahwa merokok (meminjam bahasa Pater Alex Lanur, OFM), jelas tidak baik atau baik tapi tidak jelas, aku tetap tidak bisa mengingkari bahwa puntung dan asap adalah salah satu perabot kamar selain tikar dan bantal.2Sebelumnya di Berawal Dari Cinta Separuh: “… Kami juga slalu sama-sama. Ke mana-mana bertujuh. Dia pasti slalu ada di sa’p hati dan sa’p saku; entah saku baju atau saku celana. Akrabnya sulit diungkapkan dengan kata-kata. Pagi-pagi, pas bangun, sa’ pasti langsung cari dia duluan sebelum cari kamar kecil. Malam juga begitu; cari dia dulu, baru cari tempat tidur …”

Aku bahkan sempat berpikir, inikah dilema Adam: ’coba-coba membawa nikmat?’ Nikmatnya kenapa? ada misteri di balik setiap kepulan asapnya, asap rokok. Bahkan, konon khabarnya, merokok bisa membawa kejernihan akal budi, membantu mengentengkan pikiran, dan mengisi ruang-ruang kosong di saat-saat sepi.
#TanyaKenapa: Sebagian besar perokok yang setia adalah penyendiri yang baik.

Apa gunanya selain membakar rupiah dan menghitamkan paru-paru? Untuk kedua pertanyaan itu, atau sekian jenis pertanyaan serupa, aku memang telah siap dengan segudang alasan. Banyak. ”Berawal Dari Cinta Separuh” adalah salah satunya.Aku seakan mendadak bijak jika ada yang mempertanyakan ”apa sih manfaat dari mengepulkan asap tembakau?”3Dalam pergulatan menjawab pertanyaan teman-teman yang #AntiRokok, saya kemudian menemukan artikel ini: Ceremonial Use of Tobacco. Bagus untuk dibaca, baik bagi para perokok fanatik, maupun para sahabat yang aktif mengkampanyekan Gerakan Bebas Asap Rokok Se-tana lino (sedunia). Membacanya, pasti akan membuka cakrawala perspektif yang berbeda. 

Jujur, dalam hati aku sadar, semua alasan yang aku berikan cuma filosofi-sampah-tak-terdaur. Aku malu, malu dengan diriku sendiri. Malu karena aku rela berbohong, rela melakukan harakiri, rela membalas sinisan dengan cibiran, demi asap.Demi tembakau!!
#TanyaKenapa: Sebagian besar perokok pernah berbohong bahwa dia tidak-merokok.

”Tuhan, berikan aku hidup satu kali lagi, nanti aku tidak bakalan menyentuh tembakau atau apapun yang masih punya tali kekerabatan dengan marga nikotin. Please, Tuhan.”

”JOAKKK!!! Joak pesek, Tuhan. Jan’ dengar dia’p doa”
Mungkin itu bantahan yang bakal disuarakan malaikat pelindungku sendiri. Bagaimana tidak, jika aku sendiri memang tak seratus persen yakin dengan ’doa janjiku’ itu, apalagi malaikat pelindungku.

Semua auman suara hati, putusan optio fundamentalis, bisikan-bisikan nilai moral, pun gema suara superego tentang baik-buruknya, benar-salahnya, mesti-tak perlunya tidak merokok, tak pernah bisa menembus otak bebalku yang kian hari kian menjadi setegar karang setelah konsumsiku naik jadi satu bungkus per hari.
#TanyaKenapa: Ungkapan lain dari peringatan di bungkusan rokok adalah “Mau hidup atau mau rokok?!!”. Toh, rokok tetap terjual laku dengan sukses.4Jumlah para perokok di dunia saat ini mencapai 1,3 miliar orang dan Indonesia menduduki posisi ketiga setelah China dan India untuk urusan konsumsi rokok. Diperkirakan, dalam 10 tahun direkrut 10 juta perokok baru di Indonesia ditambah dengan fakta bahwa sekitar 65,6 juta perempuan dan 43 juta anak-anak di Indonesia terpapar asap rokok setiap tahunnya. Ironis, memang. Biaya rawat inap akibat merokok di Indonesia diperkirakan mencapai Rp2,9 triliun per tahun. Sedangkan, per tahunnya, sekitar 428.000 kematian di Indonesia diakibatkan oleh kebiasaan merokok: jumlah itu setara dengan 22,5 persen total kematian di Indonesia. Di sisi lain, dalam setahun, sebanyak Rp130 triliun dibakar untuk konsumsi tembakau di Indonesia. Angka itu berujung pada pemasukan bagi negara dari penerimaan cukai tembakau sebanyak Rp16,5 triliun. Dikutip dari Fakta Rokok.

banyak wanita tak suka pria perokok

ROBERT: Rontok Berat

Robert, Rontok Berat.5Ah, ya. Untuk Sub-bagian ini, Anda mungkin butuh penerjemah. Sebaiknya dia orang Manggarai; tak harus penerjemah bersertifikat resmi. Sa lupa-lupa ingat, siapa yang kasih tau ’tu kepanjangan dari sa’p nama depan. Cuka ma’a betul itu orang. Sa hanya ingat waktu dia kasih tau itu, sa’p muka langsung merah padam macam rambutan pasar.

Tau saja tho, bagaimana warna-nya rambutan yang dijual di pasar-pasar (yang jelas, mreka tir jual rambutan mentah yang warnanya ijo!). Olee.. apalagi waktu itu sa’ masih kuat malu; gelang keta ritak eme loer ce koe kaut lata. Untung skarang su’ muka badak (Ha?!)

Sa ganti dia’p kepanjangan. Robert, (pe)Rokok Berat. Memang, tu kepanjangan yang baru tir ada unsur keren-nya, tapi sa rasa itu lebih sesui dengan kenyataan: sa banyak rokok dan sa’p rambut kribo rimba, kribo yang tir bakalan rontok-rontok. Kribo memang membuat gaya rambut cepak menjadi pilihan utama dalam satu dekade terakhir. Hemat rebounding. (Haha!!)

Ada satu pengalaman kecil dengan sa’p teman-teman sesama Robert, sesama (pe)rokok berat. Dulu, pas masih di asrama, dalam sebulan kami biasanya ada jatah ’minggu-ke-luar’ alias minggu boleh jalan-jalan keluar asrama. Nah, satu kali ni, kami pesiar di rumah salah satu Oom karyawan asrama. Kbetulan, itu Oom juga sesama Robert. (Wkwkwk..)

Jadi sudah… Habis makan jagung muda, minum kopi manis, makan ubi rebus, minum air kelapa, plus makan siang dan minum tuak bakok, kami duduk-duduk di kamar tamu. Becur eee… Kalo sja perut ada mulut, Oee.. pasti dia su maki-maki suruh kami cukup sudah makan lagi. Aeh, damang e, ita ca, wincang. Ita ca, kodel. Ita ca, ’somal’. Ita kole ho’ot ca, sikat.. Memang e, dasar anak asrama. Tida’ bagus. (Ckckck!!)

Oh iya, lanjut. Habis itu, pas lagi dudu-duduk di kamar tamu, itu Oom tawar kami rokok. Judul’n rongko ho’o ga, Samudra Biru. Dila taung mata dami’t lima. Meskipun ada saokan-saokan bernada rese semisal :”Asa nanang coba ite Om ho’o ta?”, atau ”Kesa, jaga toing kole liha le tuang to’ong e..” Toh akhirnya kami, Robert berlima, ikut ambil bagian dalam penjelajahan kenikmatan Samudra biru itu.

Sa masih ingat e, ada sa’p teman yang pisi-pasak toe rongko, kali hia kole ata’t jago pande huruf ’Oooo’ one mai nus rongko. Ada ju’ yang awalnya gengsi isap Samudra, ”Bo’m Mallboro ta, Om..” nggitu de taen. Kali hia kole ata ciwi do’n rongko; ca di dami’t iwon, sua batang ca gelas tuak bakok diha’n ga.. Yudas e, Yudas… (Hadeuh!!)

Pas keta reme asyik kembusn nus rongko hitu, cain frater pembina asrama. Olee.. pencerahan batin nia main kaut de tuang hitu tara lejong kole ce’e rumah yang sama, ga? Maka, tak terduga kole tua’n. Calak doing, b’olo mai para kaut gi.

Nanaa.. Diki-dakang dami’t lima ceha rongko ata ngai dila’d. Manga’s ata oke ngger pe’ang lewat jendela’d. Manga’s ata pande mati one saku jeket’d. Manga kole’s ata tene le gelas inung’d. Pokonya, pake manajemen panik kaut ta.. Pas masuk b’one tuang ho’o, hilang jejak. Tir ada tanda-tanda kami tadi ada pegang Samudra di tangan. (Hufth..)

Padahal, pas pulang ke asrama, itu frater minta kami menghadap ke kamar. Jejer dami ge.. ”Haeng tite bao ta, kesa,” ”Poli ta, kesa. Pasti hena siksa ite ho’o to’ong e..” Begitu kami pung tema bisik-bisik di depan dia’p kamar. Ternyata bukan. Bukan untuk itu dia panggil kami. Dia cuma mau bilang:

”Lain kali, kalau masih ada apinya, jangan buang puntung di bawah orang punya tikar. Tadi pas saya masuk, saya liat ada berapa memang ’titik api’ di tikar-tikarnya om Hans.” (WAdaAOWW!!!)

Ibarat harta, tahta dan wanitaAGUS: Agak Guyon Sedikit

Sa tir tau, pasti ini betul ato tidak. Dengar-dengar, nanti ada peraturan untuk keluarga para pecandu rokok. Katanya, klo mreka’p kluarga yang sehidup semati sama asap tembakau itu su tamat riwayat, di atas nisannya wajib ditulis: ”GA ADA LOE GA RAME!!” #Ups! Itu kan kata-kata iklan…?

Depok, pukul tiga dini hari, Februari 2010

Diperbaharui pada Februari 2015

Gatot, Robert, dan Agus sebenarnya adalah tiga catatan berbeda yang dijejalkan dalam satu judul. “Catatan” yang terakhir, Agus: Agak Guyon Sedikit, aslinya agak panjang. Dipotong, demi memperkecil bounch rate: biar pembaca tak keburu pergi setelah tahu kalau keseluruhan ceritanya ternyata sepanjang Anyer-Panarukan. Heuheuheu…

Masing-masing judulnya tetap dipertahankan, bukan untuk memunculkan kesan mirip dengan kisah The Three Musketeers. Sekali lagi, bukan itu. Mmm.. apa, ya? Kurang lebih, begini: saya tertarik untuk menyatukan tiga tulisan yang ber-tema sama itu, karena saya penasaran dengan pemakaian kata-kata tiga-serangkai yang jamak digunakan dalam perbendaharaan kosa kata percakapan harian.

Ambil contoh “Rokok, Kopi, dan Alkohol”, tiga kata sakti yang belakangan dipopulerkan kembali oleh Lipooz, Rapper asal Manggarai-Flores, dalam salah satu lirik lagunya (Saya lupa judulnya, maaf). Berikutnya, “Harta, Tahta, dan wanita”. Untuk istilah yang ini sudah tak perlu dijelaskan lagi. Salah satu stasiun televisi swasta bahkan menjadikan ketiga kata itu sebagai judul salah satu mata acara mereka. Masih banyak lagi.

Dalam upacara adat di Manggarai pun, tiga pasangan kata bertaut juga kerap terdengar. “Kala, Raci, Tahang”, misalnya (sirih, pinang, dan kapur – tiga bahan wajib untuk mengunyah sirih). Atau, “mbako, manuk, agu tuak” (Rokok, Ayam, dan Tuak – tiga kelengkapan utama yang sepengetahuan saya, selalu ada dalam upacara adat di Manggarai). Memang, tak ada hubungannya dengan “Gatot, Robert, dan Agus”. Hal yang menggelitik saya adalah, ketertautan mereka.

Sebagaimana yang disebutkan di awal tulisan, seperti The Three Musketeers yang jadi sahabat sehidup semati, ada juga yang namanya benda-sehidup-semati: kemana-mana selalu bersama, atau kemana-mana pasti akan dibawa pergi. Dalam konteks tema tulisan ini, saya juga punya benda-sehidup-semati. Namanya Gudang Garam Filter. Hanya saja, saya selalu mengambil sikap bermusuhan; mencoba menjauhkannya atau menjauh pergi darinya.

Sayagnya, dalam rententan Cerita Nara Reba, kisah kami ujung-ujungnya mirip lirik lagu Broery Marantika: Pergi Untuk Kembali. Di situ kadang saya merasa sedih. Aisssh…

Catatan Narareba:

  • 1
    George Burns adalah seorang komedian berkebangsaan Amerika Serikat. Ia lahir di New York pada 20 Januari 1896 dan meninggal pada 9 Maret 1996 saat usianya mencapai 100 tahun. Burns adalah satu dari sedikit perokok aktif yang berumur panjang. Uniknya, Google selalu selalu menampilkan foto sang aktor komedi ini dalam posenya yang sedang menggenggam sebatang cerutu. Kutipan di atas adalah salah satu kutipan favotit saya tentangnya, setelah yang satu ini: “If I get big laughs, I’m a comedian. If I get little laughs, I’m a humorist. If I get no laughs, I’m a singer.” Google Book, Burns’s Philosophy.
  • 2
    Sebelumnya di Berawal Dari Cinta Separuh: “… Kami juga slalu sama-sama. Ke mana-mana bertujuh. Dia pasti slalu ada di sa’p hati dan sa’p saku; entah saku baju atau saku celana. Akrabnya sulit diungkapkan dengan kata-kata. Pagi-pagi, pas bangun, sa’ pasti langsung cari dia duluan sebelum cari kamar kecil. Malam juga begitu; cari dia dulu, baru cari tempat tidur …”
  • 3
    Dalam pergulatan menjawab pertanyaan teman-teman yang #AntiRokok, saya kemudian menemukan artikel ini: Ceremonial Use of Tobacco. Bagus untuk dibaca, baik bagi para perokok fanatik, maupun para sahabat yang aktif mengkampanyekan Gerakan Bebas Asap Rokok Se-tana lino (sedunia). Membacanya, pasti akan membuka cakrawala perspektif yang berbeda. 
  • 4
    Jumlah para perokok di dunia saat ini mencapai 1,3 miliar orang dan Indonesia menduduki posisi ketiga setelah China dan India untuk urusan konsumsi rokok. Diperkirakan, dalam 10 tahun direkrut 10 juta perokok baru di Indonesia ditambah dengan fakta bahwa sekitar 65,6 juta perempuan dan 43 juta anak-anak di Indonesia terpapar asap rokok setiap tahunnya. Ironis, memang. Biaya rawat inap akibat merokok di Indonesia diperkirakan mencapai Rp2,9 triliun per tahun. Sedangkan, per tahunnya, sekitar 428.000 kematian di Indonesia diakibatkan oleh kebiasaan merokok: jumlah itu setara dengan 22,5 persen total kematian di Indonesia. Di sisi lain, dalam setahun, sebanyak Rp130 triliun dibakar untuk konsumsi tembakau di Indonesia. Angka itu berujung pada pemasukan bagi negara dari penerimaan cukai tembakau sebanyak Rp16,5 triliun. Dikutip dari Fakta Rokok.
  • 5
    Ah, ya. Untuk Sub-bagian ini, Anda mungkin butuh penerjemah. Sebaiknya dia orang Manggarai; tak harus penerjemah bersertifikat resmi.

Berawal Dari Cinta Separuh

belajarberhentimerokok

Tembakau (Nicotiana tabacum), oleh suku Indian Amerika, telah digunakan sebagai rokok sejak 2.100 Sebelum Masehi.1Meminjam istilah Karl May, Pipa Perdamaian yang digunakan oleh suku Indian untuk menghisap tembakau adalah pengungkapan keterhubungan mereka dengan dunia spiritual. Ya, menghisap tembakau (merokok) pada awalnya adalah ritual untuk menghubungkan dunia fisik dan dunia spiritual. Native American menyebutkan, alasan tembakau digunakan dalam ritual penghubung dua dunia itu adalah karena akarnya jauh berakar ke dalam ‘bumi’ dan asapnya berhembus naik hingga ke surga. “The pipe is a link between the earth and the sky. Smoke becomes our words; it goes out, touches everything, and becomes a part of all there is. The fire in the pipe is the same fire in the sun, which is the source of life.”

Saya baru jatuh cinta dengan tembakau sejak satu dekade lalu. Dalam bahasa lain, Berawal Dari Cinta Separuh adalah catatan reflektif tentang usaha untuk berpaling dari cinta pertama itu. Anda mungkin butuh “penerjemah” untuk membacanya.

“When you smoke the herb, it reveals you to yourself.” – Bob Marley

Gudang Garam dan Cinta Separuh

Sa’ pernah belajar untuk berhenti merokok: hari pertama, dari dua batang jadi satu batang. Trus, dari satu batang, jadi separo batang. Malu juga e, banyak teman seangkatan yang bilang: merokok itu tanda gangguan mental. Maklum, kami tinggal di lingkungan yang menajiskan tembakau berbentuk asap..

Meski sering sa’ jawab mreka pung gosip dengan agak malas tau: “Tir apa-apa, kan itu bagian dari seremoni mendupai Bait Suci. Bukannya guru agama bilang; tubuh kita adalah Kemah Suci?” Tetapi toh, itu rasa malu tetap ada – apalagi katanya; perokok susah dapat cewek.

Sa’ kemudian coba untuk benci sama yang namanya Gudang Garam Filter.
Itu dulu, waktu SMA.

Benar, memang: cinta pertama tir akan pernah mati. Dalam kasus ini, sa’p cinta deng kretek filter berjudul: Nikotin 12 Batang Berlabel Gudang Garam Di Pinggiran Rel, tir mati-mati. Meski sa’ su berpindah ke lain hati, mencoba permen sebagai pengganti rokok, itu rasa rindu slalu saja datang menghantui. Sa tir tahan e..

Minggu ketiga, satu batang lagi. Trus dua batang, tiga batang, empat batang, enam batang … Dan, cinta enam batang itu tetap bertahan, lama, sampai kemudian di Jawa sini sa’ baru tau kalau cinta enam batang itu nama lainnya separuh (separo). Kalau su’ kangen, tinggal ke warung dan ungkapkan cinta: “Mbak, beli filter. Separo.”

Ha.ha.ha….
Jadi lucu sendiri..

Sejak dulu, kami memang sudah sering habiskan hari bersama-sama, bertujuh: sa’ deng enam batang kretek filter.. Akrabnya sulit diungkapkan deng kata-kata. Kami kerap habiskan malam di belakang asrama, di tempat angker yang namanya ‘evergreen belakang’, karena di sana kami bisa memadu kasih tanpa takut kami pung asap cinta bisa tercium Romo Prefek atau sa’p rival cinta: sesama pecandu rokok yang lagi kehabisan stok.

Kami juga slalu setia dalam suka dan duka. Bahkan saat sedih dia lebih sering hadir, seakan-akan lewat tiap hembusan asap dia bilang: you will never walk alone. Dari sa’p percintaan dengan separuh sa’ kemudian belajar: everything will be good in the end; if it is not good, it’s not the end. Begitulah..

Kami juga slalu sama-sama. Ke mana-mana bertujuh. Dia pasti slalu ada di sa’p hati dan sa’p saku;
entah saku baju atau saku celana. Akrabnya sulit diungkapkan dengan kata-kata. Pagi-pagi, pas bangun, sa’ pasti langsung cari dia duluan sebelum cari kamar kecil. Malam juga begitu; cari dia dulu, baru cari tempat tidur..

Sa juga pasti akan sulit belajar kalo dia tir temani sa’ membaca berdiktat-diktat bahan kuliah atau pun beratus-ratus halaman novel. Oh iya, dan berkeping-keping dvd film. Di saat-saat itu, sa’ hampir-hampir rela mati untuk membuktikan bahwa “Bikin hidup lebih hidup!!” adalah mantra, bukan sekadar kata-kata iklan rokok.

Kalau ada yang namanya pacaran, tunangan, kemudian nikah, kisah percintaan kami juga sama: awalnya sebatang, kemudian separo, dan akhirnya sebungkus. Bedanya, kami tir tanda tangan surat nikah. Tapi kemudian, sa’ takut.. takut punya anak. Katanya, kalau nikah dengan rokok, pasti akan lahir anak-anak kembarannya impotensi, kanker, jantungan, paru-paru, dan sejenisnya.. Sa’ langsung meriang..

Teman, ini tulisan su’ terlalu panjang. Sa’ ada kerjaan sedikit, besok-besok bru sa sambung lagi. Sa’ ingiiii..in skali berhenti mrokok, tapi sa ju’ bingung bgimana caranya. Ada yang punya ide? Nanti sa’ masukan di edisi kedua. Soalnya, sa ju’ su’ khabisan cara. Bahkan, ini tulisan juga sa’ buat sambil merokok… Ups!!

Diperbaharui pada Februari 2015

Alasan pertama untuk pertanyaan, “kenapa ingin berhenti merokok?” sebenarnya sederhana: karena merokok itu dilarang. Saya mulai menjadi perokok aktif di umur tujuhbelas tahun. Di usia itu, saya masih berguru di lembah Kisol, masih kelas dua SMA. Well, itu SMA. Itu Seminari. Itu asrama. Itu masa akil baliq: masa ‘berada dalam pengawasan’ dan dianggap belum cukup dewasa untuk menentukan ‘pilihan hidup’. Sepertinya jelas, kenapa kami dilarang merokok.2Tentang pengalaman kami “merokok sembunyi-sembunyi” di Kisol, baca catatan reflektif Nara Reba berjudul Lemorai: Perantau Yang Kembali serta kisah lainnya di Gatot, Robert, dan Agus.

Selepas SMA, peraturannya masih sama: merokok itu dilarang. Tetapi kali ini, kami diberi alasan yang cukup masuk akal untuk pertanyaan, “Kenapa dilarang, bukankah kami sudah cukup dewasa?”. Alasannya juga sederhana: selama masa postulan dan novis, kami (hanya) mendapat jatah uang saku Rp10.000 setiap bulannya; mana cukup untuk membeli rokok?

Nah, karena aturannya sedikit lebih longgar, siasat pun berubah. Kami masih bisa mendapat rokok dari kemurahan hati umat yang menawarkannya ketika melakukan kunjungan ke luar biara. Bahkan kadang, tanpa berkunjung ke luar pun, sebungkus Gudang Garam Filter kadang dititipkan begitu saja “untuk nana Obeth” lewat dapur atau pagar postulan. Masalah selesai.

Tetap saja, itu tindakan ilegal. Apalagi ketika Bruder Triono, OFM (magister postulan) dan kemudian Pater Ignas, OFM (magister novis) terkadang lewat di dekat “ruang rahasia” kami dan mencium asap rokok yang dibawa hembusan angin. Mereka memang tak akan bertanya lagi, siapa pelakunya. Sudah jelas: Obeth. Tatapan mata mereka setelah itu jelas menyiratkan sebuah pertanyaan: kenapa masih merokok? Aiss.. Di situ kadang saya merasa sedih.

Oh ya, di awal tadi sempat dituliskan, Anda mungkin butuh penerjemah untuk membaca “Berawal Dari Cinta Separuh”. Ini catatan saya yang pertama di Facebook, setelah sebelumnya notes eFBe lebih banyak diisi dengan puisi dan puisi. Awalnya cuma catatan iseng. Mencoba untuk menulis dengan gaya yang sedikit ‘di luar jalur’: gaya bahasa Indonesia khas Ruteng. Anda butuh orang Manggarai untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia baku. Atau setidaknya, cobalah untuk mengerti. Mungkin dengan begitu, Anda bisa jadi orang Manggarai, atau paling tidak, memahami mereka.

Catatan Narareba:

  • 1
    Meminjam istilah Karl May, Pipa Perdamaian yang digunakan oleh suku Indian untuk menghisap tembakau adalah pengungkapan keterhubungan mereka dengan dunia spiritual. Ya, menghisap tembakau (merokok) pada awalnya adalah ritual untuk menghubungkan dunia fisik dan dunia spiritual. Native American menyebutkan, alasan tembakau digunakan dalam ritual penghubung dua dunia itu adalah karena akarnya jauh berakar ke dalam ‘bumi’ dan asapnya berhembus naik hingga ke surga. “The pipe is a link between the earth and the sky. Smoke becomes our words; it goes out, touches everything, and becomes a part of all there is. The fire in the pipe is the same fire in the sun, which is the source of life.”
  • 2
    Tentang pengalaman kami “merokok sembunyi-sembunyi” di Kisol, baca catatan reflektif Nara Reba berjudul Lemorai: Perantau Yang Kembali serta kisah lainnya di Gatot, Robert, dan Agus.

Pamitan Yudas

PamitanYudas-JuhaArvidHelminen

Pernah membayangkan, bagaimana kehidupan Yudas seandainya dulu ia tidak mati gantung diri setelah mengkhianati Yesus? Mati segan, hidup tak mau. Mungkin. Pamitan Yudas adalah puisi tentang itu, tentang kehidupan setelah meninggalkan Sang Guru. Tentang Adam (atau Hawa), setelah taman Eden.

Sastra membawa kepada yang ekstrem. Sebab, lebih baik mati di tengah samudera raya daripada tenggelam di dalam sebuah kubangan – Alexander Solschenizyn

Pamitan Yudas

Lampu yang mati kunyalakan, lagi..
Malam kembali menggoda
dengan dingin rangkulannya,
masuk melalui celah ventilasi tanpa pernah diundang..

Ia yang cepat-cepat beranjak saat
kokok ayam mengancam akan melapor pada matahari..

Ah,
menggigit kuku tak pernah terbukti menyelesaikan masalah
apapun.

Toh aku juga tak pernah menyalahkan kodrat
yang melarang Adam menangis saat dihukum
hanya karena menggigit sejumput apel..

Pantas kebanyakan orang tak pernah butuh gunting kuku…

Berselingkuh dengan kegelapan memang tak pernah
menguntungkan
Begitu kata sebagaian besar guru..

Bodohnya, aku kelewat banyak tertidur dan tak memberi
sedikit ruang bagi suara mereka untuk mengetuk
genderang telinga kesadaranku..

Saat abu sudah kelewat tertiup angin pagi,
Saat embun terlanjur menguap terbirit-birit dikejar terik siang,

Baru kubuka sampul diktat dan terkejut menemukan (lagi)
Heidegger tersenyum dengan wajah acuh tak acuhnya..
kali ini bukan tentang

Manusia adalah Ada menuju Kematian..

Ketaktersembunyian diakuinya sebagai Kebenaran..

Malam, aku pulang..

Esok, esok malam..
Lupakan aku, atau siapapun dari diriku
yang pernah kau kenal

Saat kita..

aku dan bintang,
aku dan bulan,
aku dan gonggongan anjing

aku dan layar komputer..
aku dan tukang nasi goreng..
aku dan nomor-nomor asing..

aku dan sorakan suporter..
aku dan nyamuk-nyamuk..
aku dan diktat-diktat..
bercumbu dalam apa yang pernah
Sang Dia teriakkan:

“Bapa, ampunilah mereka,

sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”

Diperbaharui pada Februari 2015

Tanya pengalaman setiap “mantan” seminaris atau frater, perbedaan apa yang mereka rasakan di seminari dan “di luar” seminari1Keterangan tentang Seminari, silahkan baca catatan kaki di artikel ini: Tolong, Jangan Tambah Satu Lagi: metode pendidikan, suasana studi, ketenangan bathin, kehidupan rohani, kebersamaan, pengembangan diri, dan lainnya? Kalau pertanyaan yang sama ditanyakan di sini, jawabannya kira-kira begini: pengalaman di seminari ada di Catatan Yudas2Puisi Nara Reba sebelumnya: Catatan Yudas; setelah di luar seminari ada di puisi ini – Pamitan Yudas.

Ini adalah puisi yang ditulis di malam-malam insomnia, di keremangan sebuah kamar kos di sudut belantara Jakarta. Jauh setelah meninggalkan Kisol, beberapa tahun setelah beranjak dari lembah Pagal, tak lama setelah pamit dari Novisiat transitus Depok. Ada perasaan kehilangan yang dituangkan, juga kerinduaan terpendam yang hingga kini masih tersimpan di kedalaman hati: keinginan untuk kembali.

Saat catatan tambahan ini ditulis, saat cukup banyak jeda waktu untuk merenungkan keseharian di belantara dunia “awam”, Pamitan Yudas dan perasaan yang dituangkan di dalamnya akhirnya dilihat sebagai bagian dari perjalanan hidup. Ada rasa syukur yang menyertainya: ucapan terimakasih kepada Sang Guru, yang telah membukakan pintu kesempatan untuk sejenak merasakan pengalaman dan kebersamaan dengan orang-orang pilihannya3 Baca catatatan tentang pengalaman kami di Kisol dalam artikel Lemorai: Perantau Yang Kembali.

Mengulang apa yang pernah diungkapkan Risal, kawan karib yang kini jadi pengajar Matematika di Seminari Kisol, saat sedang berdupa di Evergreen belakang asrama: “Banyak yang dipanggil, sedikit yang dipilih, Eces yang menentukan.” Tambahannya: kita yang memutuskan, untuk menjalaninya atau tidak.

Catatan Narareba:

Catatan Yudas

lelakidansalib-catatanyudas

Catatan Yudas adalah sebuah puisi singkat yang ditulis dalam permenungan akan heningnya suasana di Kapel Biara Postulan OFM1Apa itu Postulan? Baca catatan kaki Nara Reba di: Tolong, Jangan Tambah Satu Lagi St. Bonaventura Pagal – Cibal, Manggarai, Flores.

Selepas dari lembah Kisol, saya menjalani masa setahun saya di sana, di tempat yang menyajikan pembelajaran tentang hidup yang sesungguhnya.

Kekayaan hidup, dilema-dilema dan dialektika kehidupan yang tidak dapat diselesaikan dalam alur berpikir yang mengandakan logika, diangkat dan ditematisasi di dalam sastra.- Dr. Paul Budi Kleden

Catatan Yudas

Orang terakhir di kapel..

Meniup lilin..

Matikan lampu

dan, menutup pintu..

Tinggal buku-buku..

Tinggal patung-patung batu..

Tinggal kedamaian…

Sabar menunggu pagi

Saat Kau Kembali..

Diperbaharui pada Februari 2015

Ada satu hal yang membuat saya dulunya betah berlama-lama di Kapel2Kapel Kapel (bahasa Inggris: Chapel) adalah lokasi tempat ibadah sekunder yang bukan merupakan tanggung jawab utama dari pastor paroki setempat, atau bisa juga merupakan milik individual atau lembaga tertentu. Mayoritas gereja-gereja berukuran besar memiliki satu atau lebih altar sekunder, yang bilamana menempati ruang yang terpisah, sering juga disebut sebagai kapel., menunggu hingga orang terakhir pulang: suasana damai yang tersisa. Suasana itu tak sama dengan hening yang terasa saat menjadi orang pertama yang tiba di Kapel sebelum kegiatan ibadat atau misa dimulai.

Ada aura magis yang melekat kuat di kapel dan di tempat ibadat manapun yang pernah saya datangi, bahwa tempat-tempat itu telah banyak mendengar banyak hal, bahkan yang tak tersampaikan dalam kata dan gerakan simbolik.

Kapel adalah ruang yang banyak mendengar tanpa banyak berpetuah. Ia akan selalu ada di sana, sabar menunggu ketika kau ingin membicarakan sesuatu, entah dengan Tuhan atau bahkan hanya dengan hati kecilmu sendiri.

Ada sebuah ucapan Dalai Lama: when you talk, you are only repeating what you already know. But if you listen, you may learn something new. Barangkali, karena ia adalah ‘tempat yang mendengarkan’, ia kaya dengan banyak hal, termasuk jawaban yang ia sampaikan dengan caranya sendiri lewat hening yang agung. Dalam arti itulah saya merasakan kehadiran Sang Pencipta.

Menjadi orang terakhir di Kapel juga berarti menjadi petugas yang harus meniup lilin, memastikan semua peralatan dan buku-buku ibadat dikembalikan ke tempatnya, memadamkan lampu, dan akhirnya menutup pintu. Meskipun itu terkesan sebagai tugas tambahan, dibanding dengan kedamaian yang diberikannya, saya selalu melakukannya lagi dan lagi.3Tugas-tugas ini harusnya dikerjakan oleh seminaris/postulan yang medapat jadwal piket sebagai petugas Koster. Di gereja atau paroki, koster dikenal sebagai salah satu pelayan yang melaksanakan tugas liturgis; kosterlah mengatur buku-buku liturgis, busana liturgis, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan perayaan misa dan ibadat di sebuah paroki.

Ah, titip rindu untuk Kapel.

Catatan Narareba:

  • 1
    Apa itu Postulan? Baca catatan kaki Nara Reba di: Tolong, Jangan Tambah Satu Lagi
  • 2
    Kapel Kapel (bahasa Inggris: Chapel) adalah lokasi tempat ibadah sekunder yang bukan merupakan tanggung jawab utama dari pastor paroki setempat, atau bisa juga merupakan milik individual atau lembaga tertentu. Mayoritas gereja-gereja berukuran besar memiliki satu atau lebih altar sekunder, yang bilamana menempati ruang yang terpisah, sering juga disebut sebagai kapel.
  • 3
    Tugas-tugas ini harusnya dikerjakan oleh seminaris/postulan yang medapat jadwal piket sebagai petugas Koster. Di gereja atau paroki, koster dikenal sebagai salah satu pelayan yang melaksanakan tugas liturgis; kosterlah mengatur buku-buku liturgis, busana liturgis, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan perayaan misa dan ibadat di sebuah paroki.

AZ: Catatan Seorang Awam Driyarkara

FranzMagnisSusenoDosenSTFDriyarkarabyRelawanMuhidin

Alumni Driyarkara pasti akrab dengan istilah ini: AZ, sebutan untuk mahasiswa “kaum awam” yang turut digembleng bersama para rohaniawan katolik di Sekolah Tinggi Filsafat itu. Catatan Seorang Awam Driyarkara adalah coretan lepas semasa kuliah, semacam coretan iseng seorang awam.

Jalan untuk memanusiakan manusia adalah melalui budaya, budaya yang tidak stagnan dan melahirkan anarki namun sebuah budaya yang berguna bagi sesama. – Prof. Dr. Nicolaus Driyarkara SJ (1913-1967).

Driyarkara, Jembatan Serong 100A

… ada yang tertulis: Anak-anak Terang…

Selebihnya, suara itu cuma sayup-sayup terdengar; antara nyata dan separuh sadar.

Kalau pun “dia” sedang menawarkan kami kesempatan untuk mengemukakan “terang apa yang paling kusukai..” (kedengarannya tak mungkin, mengingat sekarang situasinya di ruangan kampus, bukan di taman kanak-kanak), aku akan memilih “Terang Bulan”1Terang Bulan, itu nama yang akrab di telinga Orang Ruteng untuk menyebut kue Martabak manis atau Apam Balik, penganan sejenis kue dadar. Wikipedia menyebutkan, orang Indonesia Timur terkadang bingung kenapa Terang Bulan disebut “martabak” karena kue ini berbeda dengan kue lain yang “biasa” disebut martabak. Disebut Kue bulan atau terang bulan, mungkin karena bentuknya yang bulat seperti bulan..

Ya, selain kantuk yang memagut mata, ada lapar yang saat ini memeluk perut. Rasanya seperti sedang bermesraan dengan keabadian – pacar yang berikan kematian sekaligus kehidupan dalam kadar yang kelewat protektif.

Mata setengah terpejam, bibir separuh monyong, dan air muka ngantuk tanpa rasa bersalah telah jadi ciri khas di bulan-bulan terakhir. Oh iya, tambahkan lagi: insomnia akut, kantong mata tebal, kuku Grandong2Grandong adalah makhluk jadi-jadian bawahan Mak Lampir dalam Sinetron “Misteri Gunung Merapi yang populer pada akhir tahun 90-an: berwajah menyeramkan, berkulit hijau dengan mata merah menyala, serta rambut yang gondrong gimbal. Ternyata, di Banyuwangi dan Lampung, Grandong aslinya adalah sebutan untuk kendaraan bermotor rakitan bermesin diesel yang dijadikan alat angkutan. dan rambut kribo yang kelewat menyebalkan, serta lambung senewen dan kelangsingan yang kelewat batas. Lengkap sudah!!

Tidak salah kalau di kampus julukan itu melekat kelewat paten, AZ! selain OFM, SJ, CICM, SDB, SX dan Projo3OFM: Ordo Fratrum Minorum, SJ: Societas Jesu, CICM: Congregatio Immaculati Cordis Mariae, SDB: Salesian Don Bosco, SX: Serikat Xaverian, dan Projo: Imam Diosesan., di STF Driyarkara, adanya yah.. kami-kami ini: AZ. Bagi yang lain, itu mungkin singkatan dari Awam Zejati. Aihh.. Ancaman Zaman, itu lebih cocok!

Kadang, dalam perjalanan pergi-pulang – dan pergi lagi ke kampus, ingatan akan identitas itu terasa menyayat. Meski akhirnya luka yang menganga itu diperban dengan idiom kceil itu: “Apalah arti sebuah nama?” Toh, sebagian besar orang dilahirkan (atau minimal, diketahui akan lahir) dulu baru diberi nama. Tak ada nama yang mengawali sesuatu, kan? Sesuatu itu muncul dan baru diberi nama, tho? (kecuali nama-Nya, tentu).

Itu membuatku kembali ke AZ.. Anak-anak Zaman, mungkin itu lebih tepat. Setidaknya, nama itu lebih manusiawi..

Dan, langkah-langkah kaki serta kayuhan ini rasanya kembali – mantap mengarungi ruas dan bahu jalan. “Driyarkara, I’m coming!!”

Catatan diperbaharui pada Februari 2015

STF Driyarkara adalah Sekolah Tinggi Filsafat yang didirikan pada 1 Februari 1969 sebagai realisasi cita-cita Prof. Dr. N. Driyarkara, SJ untuk memajukan dan mengembangkan pengetahuan filsafat di kalangan masyarakat Indonesia4Info selengkapnya tentang STF Driyarkara, klik www.driyarkara.ac.id.*

Catatan Narareba:

  • 1
    Terang Bulan, itu nama yang akrab di telinga Orang Ruteng untuk menyebut kue Martabak manis atau Apam Balik, penganan sejenis kue dadar. Wikipedia menyebutkan, orang Indonesia Timur terkadang bingung kenapa Terang Bulan disebut “martabak” karena kue ini berbeda dengan kue lain yang “biasa” disebut martabak. Disebut Kue bulan atau terang bulan, mungkin karena bentuknya yang bulat seperti bulan.
  • 2
    Grandong adalah makhluk jadi-jadian bawahan Mak Lampir dalam Sinetron “Misteri Gunung Merapi yang populer pada akhir tahun 90-an: berwajah menyeramkan, berkulit hijau dengan mata merah menyala, serta rambut yang gondrong gimbal. Ternyata, di Banyuwangi dan Lampung, Grandong aslinya adalah sebutan untuk kendaraan bermotor rakitan bermesin diesel yang dijadikan alat angkutan.
  • 3
    OFM: Ordo Fratrum Minorum, SJ: Societas Jesu, CICM: Congregatio Immaculati Cordis Mariae, SDB: Salesian Don Bosco, SX: Serikat Xaverian, dan Projo: Imam Diosesan.
  • 4
    Info selengkapnya tentang STF Driyarkara, klik www.driyarkara.ac.id

Tolong, Jangan Tambah Satu Lagi

Manggarai-Flores Transportation by Erik van Leeuwen

Perjalanan hidup sejak dari Manggarai hingga sekarang membekaskan satu pelajaran: dengan kekuatan yang besar, datang juga tanggungjawab yang besar.

Ya, bukan hanya Spiderman yang merasakan itu. Tolong, Jangan Tambah Satu Lagi adalah permintaan, sebuah puisi tentang pergulatan.

Whatever life holds in store for me, I will never forget these words: “With great power comes great responsibility.” – Spider-Man (2002)

Jangan Ditambah Lagi

Aku menikmati saat-saat itu;
perjumpaan dua dunia.

Kau bawa sesuatu dari duniamu,
yang jauh tak terjamah..
dan aku bingkiskan beberapa potong kata dari keseharianku,
tertiup sajak bernada magis menembus tipisnya kelambu jagadmu..

Memang,
segelintir sahabat lain mencibir..
mereka bilang pertemanan kita
tabu

Harusnya,
aku hanya dengan sesamaku..
Kau,
mestinya hanya dengan sebangsamu..
Jangan bertemu, berteman,
apalagi bercampur..

Tabu..

Aku hanya menjawab dengan gurauan kecil..
Bukankah pertemanan berarti,
menjangkau-yang-tak-terjangkau:
diri pribadi,
orang lain,
ciptaan,
termasuk juga makhluk-lain-dunia?

Bantahan mereka, jelas:
ini bukan pertemanan,
tapi perselingkuhan melawan iman!!

Ufh!!
Masuk telinga kiri..
keluar juga di telinga yang sama..

Anjing menggonggong,
khalifah tinggal memberi tulang..
Beres, tho?

Tapi,
toh aku merasa terganggu juga..
Akhir-akhir ini..

Kau kelewat banyak berbisik..
Entah kenapa, aku jadi terusik.
Terusik untuk peduli..

Awalnya satu..
Dua kali..
Dan akhirnya lagi dan lagi-lagi…

Aku juga kelewat banyak meminta..
Entah kenapa, kau selalu memberi
tanpa pernah mengharap imbalan..

Menerawang..
Melihat masa depan..
Mengartikan mimpi..

Aku tahu,
kebersamaan ini tak bisa kudapatkan di warung pojok,
dengan ramai debat diskusi filosofis teman-teman sekampus..
Pun di antara sesama pecinta filter, kopi dan kompiang;
mereka tak bisa mengisi kekosongan yang kau tinggalkan..

Tapi,
aku ingin sejenak berhenti..

Semoga kau mengerti..

Bukan karena tabu,
juga bukan karena kita sudah tak cocok lagi..

Biarkan aku sejanak dewasa,
untuk bisa memahami..
Biarkan aku menikmati sepenggal waktu hidupku yang tak abadi,
untuk bisa mencerna
kenapa ini hanya terjadi di antara kita; kau dan aku,
dan segelintir orang..

Aku belum bisa yakin,
apakah ceritanya akan lain,
andaikan dulu kita satu dunia
dan kau bukan makhluk tak kasat mata..

Tapi,
bila kau ingin tahu,
apa sepotong sembahku setiap fajar
setahun belakanngan,
tak apa-apa:

“Tuhan,
aku ingin punya lima indra saja..
Tolong, jangan tambah satu lagi…

Amin.”

Diperbaharui pada Februari 2015

Sebuah “kebetulan” yang saya alami di Ruteng, Manggarai, Flores, NTT pada tahun 2005 ternyata membawa perubahan yang sangat besar dalam hidup. Saya bergulat cukup lama dengan “kebetulan” itu, mulai dari Seminari1Seminari Pius XII Kisol: tempat pendidikan calon imam setingkat Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas yang terletak di Kisol, Kelurahan Tanah Rata, Kecamatan Kota Komba; 9 kilometer dari kota Borong, Ibu kota Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT. Pius XII Kisol – Manggarai Timur, Postulan (OFM)2Masa Postulan (1 tahun) dan masa Novisiat (1 tahun) adalah dua dari delapan tahun masa program formatio awal untuk semua calon anggota ordo Fratrum Minorum (Ordo Saudara-saudara Dina), baik bagi mereka yang mempersiapkan diri untuk tahbisan maupun tidak. Bonaventura Pagal – Manggarai, dan Novisiat (OFM) Transitus Depok – Jawa Barat, sampai akhirnya di belantara Jakarta Raya.

Pada tahun 2010, dalam ketidaktahuan dan minimnya bimbingan dari Senior yang lebih berpengalaman, saya memutuskan untuk “pensiun” dan mencoba menjalani kehidupan yang normal. Belakangan saya sadar, ucapan Stan Lee yang dikutip Peter Parker dalam film legendaris Spider-Man itu ternyata benar: “Dengan kekuatan yang besar, datang juga tanggungjawab yang besar.”

Pengalaman hidup membuat saya mengamini bahwa apapun yang didapatkan dengan gratis, tidak selamanya mudah dimiliki. Saya kemudian belajar untuk menerima “kebetulan” itu dengan hati-hati. Semoga pada saatnya nanti, “kebetulan” itu bisa saya maknai dan saya jalani dengan bijak. Tabe.*

Catatan Narareba:

  • 1
    Seminari Pius XII Kisol: tempat pendidikan calon imam setingkat Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas yang terletak di Kisol, Kelurahan Tanah Rata, Kecamatan Kota Komba; 9 kilometer dari kota Borong, Ibu kota Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT.
  • 2
    Masa Postulan (1 tahun) dan masa Novisiat (1 tahun) adalah dua dari delapan tahun masa program formatio awal untuk semua calon anggota ordo Fratrum Minorum (Ordo Saudara-saudara Dina), baik bagi mereka yang mempersiapkan diri untuk tahbisan maupun tidak.

Update Terkini