Tentang Menyimpan Segala Sesuatu Dalam hati

Ada hal-hal yang dulunya hanya dibaca begitu saja, atau didengar berkali-kali, tanpa pernah dimengerti. Saat membaca novel, menyimak Dunia Dalam Berita, atau membaca perikop Perjanjian Baru.

Dulu, ketika itu. Saat Google belum digenggam seperti sekarang.

Istilah dalam Matius 11, misalnya: “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan”.

Apa itu “Kuk”?

Begitu dulunya otak kanak-kanak saya bertanya-tanya, tanpa pernah mengacungkan jari.

Dari situ juga saya pelan-pelan mencoba mengerti apa yang ditulis Lukas 12:9, “Tetapi Maria menyimpan segala perkara itu dalam hatinya dan merenungkannya.”

Ya. Dulunya susah sekali memahami itu. Bahkan sampai sekarang, di hari-hari ini. Bagaimana ‘hati bisa menyimpan segala perkara?’.

Bukankah memori itu hanya ada di otak, dalam kepala? Bukannya hati itu ada di rongga perut kanan bagian atas, tepat di bawah bagian rusuk kanan? Bukannya tidak ada kumpulan jejaring Sistem Saraf Pusat di sana?

Saya dulu sampai membolak-balik buku pelajaran Biologi, membaca berkali-kali dan mencoba menemukan pembenaran, apakah ada simpul interneuron di hati, untuk menyimpan memori, sebagaimana yang ada di hippocampus. Nihil.

Lalu, dengan cara seperti apa Maria menyimpan segala perkara itu dalam hati-nya?

Belakangan.. Ketika harus jalan dari kota ke kota yang tak boleh diberi nama dalam galeri.. Ketika perlu bertemu sosok dari waktu ke waktu yang tak mesti disimpan sebagai update di timeline sosmed..

Atau, ketika harus mengerjakan sesuatu yang tak pernah bisa dipajang sebagai plakat atau piagam di website, baru pelan-pelan saya mengerti..

Mengerti bagaimana Maria memproses ingatan. Mengerti bahwa ingatan semata-mata soal kompleksitas ruang dan waktu yang ditata sebagai respon balik tubuh atas dinamika keseharian hidup..

Juga memahami, bahwa terkadang ada perkara yang tidak perlu disimpan di timeline, di galeri, di folder laptop, atau bahkan di kepala.

Cukup disimpan di pinggir meja, di sudut kota, di remang senja, di bibir segelas kopi.. Toh nanti juga akan dicicipi seteguk demi seteguk, untuk kemudian diolah tubuh menjadi glikogen dan glukosa, di hati.

Atau setidaknya begitu.

[powerpress]

Artikel SebelumnyaKRI Alugoro-405, Kapal Selam Pertama Karya Anak Bangsa
Artikel BerikutnyaSule Tiba-Tiba Marah: Pasangan Itu Tidak Bisa Dipaksakan, Gak Benar Nantinya!