LANGGO, SUATU MALAM
Saya dan Max masih ingat, ini tentang Pekan Suci bertahun-tahun lalu. Ini cerita lama, di Langgo, di Ruteng, ketika kami sekeluarga tidak lagi merayakan Paskah di Gereja St. Mikhael Kumba, tetapi di kapel mungil St. Monfort – SMM. Suatu malam, sepulang mengikuti drama penyaliban Yesus, ada pertanyaan yang digulirkan bapa di meja makan.
“Siapa tokoh favorit kalian dalam drama malam ini?” tanyanya menyelidik.
Tentu saja sebagian besar dari kami kompak menjawab, “Yesus”. Ya, mendapatkan peran itu, mementaskannya dengan sempurna sampai membuat oma-oma dari Carep dan Cimpar menangis adalah alasan lain kenapa jawaban itu terdengar masuk akal. Tentu saja, alasan yang paling mendasar adalah: ‘siapa lagi yang ditonjolkan dalam drama itu selain Sang-Tokoh-Utama?’
Ada satu yang terdiam di sudut meja. Si Beben, yang kala itu masih polos dan belum mengenal Gatsby atau Rexona. Semua mata lantas tertuju pada si putra ketiga, mempertanyakan sikap diamnya yang seolah tak setuju.
“Mbeng (itu sapaan akrab kami untuknya di rumah), siapa kau punya-nya?” tanya Mama penasaran.
Jawabannya malam itu cukup membuat kami terhenyak. Ia tertarik pada seorang frater malam itu. Tinggi-besar, suaranya berat dan berwibawa. Frater novis itu juga punya tatapan dalam dan misterius, nilai lebih selain wajahnya yang lumayan. Ia memerankan seorang tokoh pemberontak, sosok yang tak mau begitu saja bertekuk lutut di bawah belenggu penjajahan. Seorang yang tak terlalu mempedulikan apa kata orang bila tidak menunduk hormat di bawah tatapan hina penjajah Roma. Seorang yang untuk anak-anak zaman ini dikenal dengan gambaran Robin Hood. Itu tokoh yang dipilihnya.
Jawaban Beben malam itu, singkat: “Barabas.”
JATUH HATI DENGAN MUKA MONYET
Malam itu dan bebeberapa tahun setelahnya, ketika dialog di meja makan itu diceritakan lagi dan lagi, saya masih tertawa terbahak-bahak sampai berurai air mata. Entah mengapa, jawaban itu lucu. Sangat lucu bila mengingat bagaimana kisah-kisah injil menempatkan Barabas dan Yudas Iskariot sebagai tokoh antagonis. Sangat lucu, jika membayangkan bagaimana seorang anak kecil bisa memilih seorang tokoh antagonis sebagai tokoh favorit hanya karena pemerannya adalah seorang frater bersuara berat dan bertubuh kekar.
Sampai suatu hari, saya berkenalan denngan kisah Ramayana dan Mahabharata. Di sana ada tokoh Hanoman. Saya jatuh hati dengannya. Saya ingin seperti dia, bukan Rama atau salah satu tokoh Pandawa Lima. Padahal kalau dipikir-pikir, Hanoman itu kera. Bukankah kera adalah salah satu binatang yang selalu disalahgunakan dalam perbendaharaan kata-kata makian? Entahlah. Apapun itu, sampai hari ini saya tetap memilih Hanoman.
Tak lama berselang, saya juga akhirnya bisa menemukan kisah yang untuh tentang Sun Go Kong. Lagi-lagi saya jatuh hati. Entah bagaimana, kisah itu mengingatkan saya dengan koleksi komik di masa kecil: The Dragon Ball. Sun Go Kong hampir mirip dengan Goku, keduanya sama-sama moyet. Lagi-lagi monyet!! Toh, saya tetap jatuh cinta dengan keduanya, pada si Siluman Usil dan pada si Manusia Super Saiyan.
Apa karena kebetulan atau tidak, di Gramedia Matraman beberapa tahun lalu, kisah tentang manusia muka monyet yang menginspirasi kembali merampok ketertarikan saya. Waktu itu, dua karya besar Eiji Yoshikawa dipajang kembali di etalase buku di lantai tiga. Kali ini ini tidak lagi dalam bentuk serial, tetapi satu buku utuh. Salah satunya, Taiko.
Dulu, di Kisol, saya harus mengantri beberapa kali untuk menuntaskan sepuluh serial Taiko. Buku itu menghipnotis dengan cara yang unik, mengalahkan ketertarikan saya pada tabel unsur dan senyawa di balik cover buku-buku kimia. Saya masih ingat, Mr. Laurens Jerahu, pernah memergoki saya tertidur di lembaran akhir buku Taiko kelima saat pelajaran Fisika (efek mete gara-gara harus mengejar buku berikutnya.. wkwkw). Ah, buku itu memang hebat, salah satu yang terbaik yang pernah saya baca dalam hidup. Padahal ceritanya bukan tentang orang Manggarai. Padahal isinya, kisah tentang si kurus bermuka monyet yang secara tak terduga menjadi penyelamat bagi Jepang menjelang dekade abad ke-enambelas.
Lagi-lagi monyet!
MONYET DAN PARA PEMBERONTAK
Alam Manggarai tidak mengenal Babbon, Simpanse, atau Gorilla. Tidak heran jika turunan primata berbulu dari kelompok Promisian dan Antropoid semuanya disebut ‘kode‘ tanpa membagi secara spesifik yang mana kera, yang mana monyet, dan yang mana hominid. Ya, ilmu pengetahuan memang membedakan monnyet dan kera secara jelas bila dirunut dari proses evolusi yang telah berlangsung sejak jutaan tahun lalu. Di sini, keduanya (baik ‘monkeys‘ maupun ‘apes‘) saya gabungkan dalam kata monyet.
Zodiak dalam astrologi Cina juga tidak memisahkan monyet dengan kera. Keduanya disatukan (猴) dan Indonesia menerjemahkan symbol ke-sembilan dari rangkaian duabelas zodiak itu dengan “shio monyet”. Konon, shio monyet-lah yang paling cerdas dari antara semua shio. Monyet juga dikatakan sebagai lambang penemu. Bagi Shio Monyet, peraturan dibuat untuk dilanggar dan penemuan baru tercipta untuk dikalahkan oleh yang lebih baru lagi.
Saya sependapat dengan itu, bahwa monyet adalah penentang kemapanan. Monyet adalah pencari yang haus akan hal baru. Saya jadi teringat dengan diskusi kecil bersama Mas Muhammad Jumhari di pojok dapur pagi kemarin. Awalnya kami bertukar cerita tentang tradisi doa tiga malam dan di hari ke-empatpuluh bagi orang yang meninggal. Dia muslim dan saya katolik. Sharing itu kemudian berujung di tema tentang iman yang mencari pemahaman. Tema yang sama dengan yang dibahas Anselmus Canterbury dalam buku Proslogion: “fides quaerens intellectum” (faith seeking understanding).
Manusia adalah makhluk evolusi dan karenanya, ia akan selalu bergerak dalam perubahan: ia akan selalu menentang belenggu kemapanan. Setiap kali teori yang baru lahir dan berkembang, akan ada teori berikutnya yang tercipta untuk meruntuhkannya. Ketika suatu kebudayaan besar terbangun, sifat dinamis manusia yang selalu ingin berkembang dan menuntut jawaban-jawaban atas berbagai pertanyaan dalam hidup akan mengikis kebudayaan itu untuk kemudian melahirkan kebudayaan baru lainnya.
Barulah saya paham, kenapa tokoh-tokoh pahlawan besar yang tadinya saya kagumi, digambarkan bermuka monyet. Mereka adalah pengingat untuk orang-orang yang merasa damai dengan kemapanan semu yang diciptakan oleh lingkungannya. Mereka adalah penanya yang terus mengacungkan jari, saat sebuah dogma telah dianggap final dan tak perlu dipertanyakan lagi. Mereka adalah pejuang yang akan mengangkat bambu runcing di saat kompeni bertopeng Gabriel datang membawa pasungan atas nama kehidupan yang lebih baik.
Monyet lantas menjadi pengingat, untuk apa kita tercipta sebagai manusia.
LA BELLE ET LE SINGE
Judul kecil di atas, “Beauty and the Monkey” adalah pelesetan yang saya buat dari judul cerita klasik itu: La Belle et la Bête – Beauty and the Beast. Dalam “Si Cantik dan Si Buruk Rupa” (terjemahan versi Indonesia dari Beauty and the Beast), kelembutan dan cinta si Belle-lah yang membuat si Beast dapat kembali menjadi manusia. Dalam runtutan kisahnya, itu hanya bisa terjadi ketika si Beast merelakan Belle pergi menjenguk ayahnya yang sakit, alih-alih tetap mengurungnya dalam istananya di tengah hutan.
Kenyataan hidup seringkali berbeda. Saat mendapatkan sesuatu yang bagus atau seseorang yang baik, orang cenderung membungkusnya dalam casing yang sempurna agar tak cepat rusak, atau mengurungnya dalam pagar yang tak terlompati agar tak diambil yang lain. Tidak sedikit yang memberontak, bahwa dia bukan pajangan. Tidak sedikit yang protes bahwa dirinya tak ingin dikurung. Tidak sedikit juga yang merasa bahwa ikatan hubungan yang lebih serius, lebih banyak memenjarakan ruang gerak ketimbang mendukung perkembangan potensi diri. Tidak sedikit yang merasa, hubungan yang serius adalah penjajahan terselubung dari satu pihak atas yang lainnya.
Mengatasnamakan janji “sehidup semati” atau “senasib sepenanggungan” atau “sebangsa dan setanah air”, mulailah yang lain memaksakan kehendak. “Mesti begini, jangan begitu.” “Aku maunya begini, koq kamu-nya begitu.” “Kenapa kamu begitu, padahal aku mau begini.” “Pokoknya harus begini, saat ini, jam ini, detik ini, …” Betapa sebuah hubungan antar dua pihak bukan lagi sebuah jalan untuk saling mendukung dalam hidup, tetapi sebuah cara mengangkangi kebebasan yang lain atas dasar persahabatan, kekeluargaan, suka-sama suka, perjuangan, cinta, atau apapun namanya.
Ah.. Ini hanya sebuah renungan kecil yang telah dimulai sejak tiga malam lalu. Maaf, karena saya moyet.
____________________
Depok – Bogor – Jakarta
Malam Jumat Agung, seminggu setelah meninggalnya Opa Evaristus Taber, Setda Manggarai yang pertama.