Dari penyakit, misalnya. Dari perang. Dari kering yang berkepanjangan. Dari banjir yang jadi keseharian. Juga dari permufakatan jahat, atau sekadar bisik-bisik di belakang punggung.
Ketika rerangkaian pengalaman itu dialami sebuah komunitas, anti-body pun firasat itu terbentuk dalam diri sejumlah orang yang peka, secara bersamaan, dalam suatu waktu.
Kemudian diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi. Setidaknya, begitulah kata pepatah: buah jatuh tidak jauh dari perkebunannya.
Dan, di negeri ini, generasi mudanya mewarisi narasi pilu: kita dijajah 350 tahun lamanya.
Sebagian kemudian menjadi peka; dibentengi anti-body dan firasatnya, atas segala bentuk penjajahan oleh-sebangsanya-sendiri setelah merdeka.
Sebagiannya lagi terlanjur kelewat kebal. Kebal ditindas. Lantas menyerah pasrah pada belenggu reformasi semu atau janji kampanye palsu.
Sebagiannya lagi memilih pura-pura tuli, karena terlanjur dibujuk oleh firasatnya untuk diam saja. Daripada nanti dicap “Godverdomme!!”
*Kupang. Februari 2020.