bemo
Catatan ini adalah lanjutan dari catatan kecil sebelumnya: Langkas Haeng Ntala, Dopo Ce’e Wulang.

Awalnya ini candaan. Di masa-masa bingung-harus-buat-apa, atau di saat-saat kehabisan ide, dan terlebih di waktu-waktu kesepian, saya sering mencari-cari nomor kontak orang-orang yang punya ide-ide kreatif. Tujuannya cuma satu: merequest joke ter-update biar pikiran kembali jernih dan tenang. Biasanya, setelah dikirimi joke terbaru, tawa akan muncul untuk beberapa saat dan pikiran akan jadi lebih tenang setelahnya. Yaa, setiap orang punya cara tersendiri untuk menenangkan pikiran di tengah kekalutan. Itu cara saya. Saya cukup beruntung karena salah satu dari sekian “kontak kreatif” yang selalu punya stok ide-ide segar adalah ‘The other Thundang’: Max, si pemilik nendong.blogspot.com. Ini adalah tulisan tentang kiriman Lalong Bakok du Lakom, Bapa Lalong du Kolem, setelah sebelumnya ia mengirimkan “pesan tertawa” lainnya: Ranga lasar pandang, pacu laras senapan.

Pelesetan Dari “Lalong Bakok Du Lakom, Lalong Rombeng Du Kolem”
Oo.. te wuad wa’i, porong neka manga do’ong lakon lage tacik, porong neka ronggo do’ong watang one salang, sengkang mena, porong lalong bakok du lakon, porong lalong rombeng du kolen. Versi terjemahan bebas: semoga Ia dapat berjalan dengan selamat dan tidak ada halangan dalam perjalannya, semoga ia berhasil dalam pekerjaannya dan pulang membawa hasil yang baik.

Begitulah. Ungkapan itu sering muncul saat upacara Wuad Wa’i, salah satu jenis ritual adat Manggarai yang bertujuan memberikan bekal (teing bokong) bagi setiap orang yang ingin pergi ke tempat yang jauh, khususnya untuk memperjuangkan nasib, entah dalam bentuk melanjutkan pendidikan maupun pergi merantau (ngo mbeot kawe mose nai). Theobaldus K. Deki dalam buku Gereja Menyapa Manggarai, menyebutkan bahwa bekal yang dimaksud mencakup dua kategori, yakni 1) memohon pertolongan, perlindungan, dan pendampingan para leluhur dan Mori Jari Dedek (Tuhan Pencipta); 2) segala bentuk nasihat, petuah (toing agu titong) yang bertujuan untuk memotivasi anggota keluarga yang hendak merantau agar berhasil.

Sejujurnya, itu ungkapan yang serius. Sangat serius, bahkan. Di dalamnya terkandung harapan sekaligus doa agar seseorang yang akan pergi merantau dapat selamat sekaligus sukses dalam segala pekerjaannya. Itu sebabnya saya tertawa. Saat ungkapan itu dipelesetkan, maknanya mengerucut lucu dan menjadi lain. Lalong Bakok du lakom, Bapa lalong du kolem. Itu bukan lagi ungkapan harapan, tetapi sebuah pernyataan. Kadang, mungkin bagi sebagian orang, itu ejekan. Tetapi kemudian, di ujung tawa yang terbahak-bahak itu, saya malah bertanya-tanya sendiri: “Apanya yang lucu, ya?” 

Lalong Bakok: Lambang Sekaligus DoaLalong Bakok, ayam jantan putih, adalah lambang dari orang yang akan pergi merantau. Putih adalah gambaran ketulusan dan kesungguhan niat. Putih juga adalah lambang kejujuran, ungkapan ketidaktahuan yang tulus sekaligus kerendahan hati untuk mempelajari hal-hal baru. Ini menarik, karena konsep Tabula Rasa yang digagas John Locke juga mengusung pesan ini, bahwa pada awalnya kita semua terlahir sebagai kertas putih. Lalong bakok, ayam jantan putih, juga adalah persembahan kepada para leluhur dan terutama Mori Jari Dedek (Tuhan Pencipta). Menarik bahwa dalam kebudayaan Manggarai, Lalong Bakok juga adalah perantara manusia yang masih hidup di dunia ini dengan para leluhur dan Mori Jari Dedek. Saudara Muda angkatan 90an pasti masih ingat dengan tema Katekese yang diusung Keuskupan Ruteng pada masa-masa itu: “Yesus Kristus adalah Lalong Bakok Bagi Orang Manggarai.”

Adoww, maksudnya tadi mau tulis tentang lelucon. Koq malah berubah jadi tulisan serieuous, ya? Hahaha… Baiklah. Pembahasan tentang Makna Lalong Bakok akan saya kupas di edisi tersendiri. Untuk kembali ke pokok pembicaraan kita sebelumnya, berikut akan saya lampirkan petikan Torok Manuk yang saya kutip dari tulisan Pak Theobaldus:

… Denge lite Mori, ho’o lalong bakok kudut baro nai bakok dami kamping ite. One manuk bakok ho’o tombo lami ga, porong dopo’s bodok seroto, tungga buta sempula, patio nggaring kali one nai anak dami, titong nggirong, wancing te nggaring we’ang te gerak. Porong bodok du ngon, pintar du kolen. Porong tadang wiki wangal toe nuk baca, rucuk nuk tenang lulus. Porong neka gaya nanang gaya HP data, nuk ngasang ata bapa rantang ruda wingi-wangas. Porong nuk kali dempul wuku tela toni toe manga nang bara landing nuk anak, toe manga wengko weki landing weli wenggit. …

Lalong Rombeng: Bukan Soal “Rombeng-nya”
Bila di awal perjalanan orang Manggarai punya ritual Wuad Wa’i, untuk mensyukuri keberhasilan seseorang setelah ia kembali dari perjalanannya, orang Manggarai juga punya ritual tersendiri. Namanya ritual Caca Selek (Caca = membuka, Selek = dandanan). Ritual Caca Selek ini adalah upacara syukuran yang dibuat untuk para leluhur dan Mori Jari Dedek yang telah mendampingi dan melindunginya selama mengejar cita-citanya sampai berhasil dengan baik.

Waahh… Sejauh ini saya baru “mengalami” Wuad Wa’i. Awalnya saya mengira bahwa bila saat berangkat seseorang “di-wuadwa’i-kan” dengan Lalong Bakok, tentunya saat kembali ia akan “di-cacaselek-kan” dengan Lalong Rombeng. Bukankah itu yang tersirat dalam ungkapan Lalong bakok du lakom, lalong rombeng du kolem? Ternyata saya salah. Lalong yang digunakan saat upacara Caca Selek tetap Lalong Bakok. Lalu, kenapa saat upacara Caca Selek, tidak “dikurbankan” Lalong Rombeng juga? Kenapa justru Lalong Bakok ‘lagi’ yang dikurbankan?

Lalong Rombeng, ayam jantan dengan corak bulu berwarna-warni, adalah lambang keberhasilan seseorang setelah ia kembali dari perantauan. Tetapi, Lalong Rombeng tidak digunakan dalam upacara “syukur” kepada para leluhur dan Mori Jari Dedek. Untuk saya, itu menyiratkan kearifan yang ada di alam pemikiran manusia Manggarai. Pertama, bahwa keberhasilan yang diperolehnya di perantauan bukan semata-mata berkat “usahanya” sendiri. Keberhasilannya tidak pernah terlepas dari penyertaan para leluhur dan Mori Jari Dedek dalam tiap gerak langkahnya. Keberhasilannya juga tidak pernah terlepas dari peranan keluarga, sahabat, dan orang-orang yang memberikan dukungan selama ia merantau untuk menimba ilmu atau mencari nafkah. Sekali lagi, Lalong Bakok dalam upacara Caca Selek menyiratkan kerendahan hati dan kesadaran akan peranan “yang lain” dalam kehidupan seseorang.

Kedua, sebagaimana saat berangkat, Lalong Bakok melambangkan ketulusan dan keluhuran niat seseorang yang akan berangkat merantau, demikian pula saat ia kembali. Harapannya, saat seseorang kembali dari perantauan, ia pun membawa pulang ketulusan yang sama, bukan membawa “oleh-oleh” yang berdampak negatif atau berpengaruh buruk bagi kampung halamannya. Oke du waes laud, du lesos saled, yang diungkapkan saat ia berangkat, juga dimunculkan di sini; bahwa hendaknya kepulangannya ‘hanya’ membawa hasil yang baik bagi kehidupan pribadi dan masyarakat di kampung halamannya.

Ketiga, Lalong Bakok dalam upacara Caca Selek juga menyiratkan bahwa kepulangan seseorang dari perantauan bukanlah akhir pencapaian. Upacara Caca Selek ini justru menjadi awal pembuktian atas pengetahuan serta pengalaman yang didapatnya selama di perantauan. Kesuksesannya justru baru akan dibuktikan apabila ia telah menyumbangkan sesuatu yang positif sebagai bukti atas apa yang telah didapatnya di perantauan. Don lako don ita, don ita don bae, don bae don pande, don pande don di’a…

Bapa Lalong du kole
Memelintir pepatah lama sehingga terdengar menjadi lelucon, untuk sebagian orang mungkin terhitung kurang ajar. Kurang ajar karena terkesan tidak menghargai kesakralan warisan adat. Kurang ajar karena terkesan mempermainkan makna yang terkandung di dalam pepatah. Lebih kurang ajar lagi, kalau itu digunakan sebagai ejekan kepada orang-orang tertentu.

Bagi saya itu tetaplah ide kreatif. Bisa membuat saya tertawa di tengah kegalauan. Bisa membuat saya membolak-balik buku untuk menemukan arti dari “pepatah yang sebenarnya”. Bisa membuat saya merenung ke dalam diri. Toh, tak selamanya bapa lalong bukan Lalong Rombeng dan kebanyakan dari Lalong Rombeng juga bapa lalong (?). Pesan pentingnya adalah, apakah setelah pulang dari perantauan, seseorang bisa “berbuat” sesuatu yang positif atau malah membawa pengaruh buruk bagi orang-orang di kampung halamannya. Bila ternyata setelah kembali, pukul-pergi-pulang-sama-saja atau bahkan membawa kehancuran, rasa-rasanya Lalong bakok du lakom, bapa lalong du kolem adalah sebuah pujian.

Wuat Wa'i, salah satu jenis ritual adat Manggarai
Artikel SebelumnyaNina From Sikka – Ivan Nestorman
Artikel BerikutnyaNara Reba Manggarai Behind The Scenes