Seperti dalam cerita Cinderella dan sepatu kaca, kekosongan yang tersisa selepas ditinggal-pergi seseorang tak akan dengan mudah diisi kembali oleh kehadiran orang lain – bahkan oleh kembarannya sekalipun. Kembaran Bintang, sepotong jejak masa lalu.

Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa, suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana. – Seno Gumira Ajidarma

Bintang Semalam, Kembaranmu

Bintang, semalam aku temukan seseorang, lagi. Begitu mirip denganmu. Kali ini aku berani bertaruh demi dua biji mataku, dia itu kau. Senyumnya, lesung pipitnya, alisnya, hidungnya, rambutnya, dan bahkan matanya pun matamu. Aku lantas teringat dengan ungkapan kecil kita: shi inta ni inta, shi itchi ni itchi – matamu adalah mataku, hatimu adalah hatiku.

Kenapa ada orang (-orang) lain yang juga punya matamu setelah hatimu sudah tak lagi punyaku? Kenapa ada pribadi lain yang menjelma dalam sosokmu setelah ragamu tak lagi dalam rengkuhan?

Ah… Pertanyaan-pertanyaan serupa kian bertambah dari tahun ke tahun. Betapa tidak, di dermaga manapun aku melabuhkan sauh, aku selalu bertemu dengan kepahitan yang sama: kembaranmu.

Semalam, aku bahkan diberkahi waktu untuk mencicipi suaramu dalam pertemuan dengannya. Kami berbincang dengan akrab, persis dua kawan lama yang melupakan janji kelingking yang dulu pernah mereka ikrarkan: bahwa mereka tak akan mau bertemu lagi sampai maut menjemput.

Seperti pertamakali kita bertemu, dia begitu ramah bercerita sambil dengan lincah menggerakkan tangannya seakan aku ini mengerti satu dari dua bahasa: atau bahasa bunyi, atau bahasa isyarat.

Seperti pertamakali kita bertemu: dia di sisi meja yang satu, anggun menganggukkan dagu manismu sambil sesekali menggoyangkan kaki, menegur nyamuk yang mengusili betismu.

Juga, seperti saat terakhir kita bertemu: aku, di sisi meja yang lain, lebih banyak beku dalam kikuk. Aku hanya bisa tersenyum kagum dan tak melepaskan sedetik pandangan dari wajahnya, seakan tak mau kehilangan tiap saat dia mengedipkan bola matamu.

Waktu keburu menggerutu. Dentang jam raksasa di pusat kota mengusir kami pulang berpisah ke arah yang berbeda. Aku berbalik dan melangkah tertunduk diikuti pandangan matamu pada punggungku yang kian tahun kian membungkuk. Saat itu, tak ada keberanian untuk sedikit menoleh ke belakang, takut jika ternyata kau melengos pergi begitu saja tanpa mengawasiku menjauh.

Semakin jauh beranjak, aku merasa langkahku kian gontai. Ya, aku enggan menerima jujur perasaan bahwa pertemuan tadi adalah anugerah dan neraka di saat yang sama. Anugerah, karena ada luka rindu yang terobati. Neraka, karena keinginanku untuk mengacuhkanmu di setiap kembaranmu semakin kuat tetapi juga selalu menguap seperti kebekuan pagi di naungan tatap matahari.

Sepanjang jalan pulang, dengung kekalutan menggema dalam kepalaku. Di hari-hari setelahnya, dengung itu menjadi lagu yang hingga kini belum tuntas diciptakan.

Di setiap persinggahan – s’lalu kutemukan bayangmu – Terpahat serupa pada wajah yang lain
Membawa lamunanku kembali – pada wajah ayu – Pada potretmu …
Aku tak ingin jatuh cinta lagi – hanya karena malaikat – Yang sepertimu
bantulah lemah jiwaku – hapuskan dirimu – Di s’tiap kembaranmu…

Nara Reba: Penanda Jejak

Seperti yang tertulis di site description-nya, Nara Reba Manggarai adalah sebuah catatan perjalanan, blog tempat saya mengolah kenangan dan merefleksikannya untuk masa depan.

Tidak semua kenangan bisa dan sempat tertulis, memang. Juga, tidak setiap perjumpaan dengan orang-orang yang saya temui sejak beranjak dari Kota Dingin Ruteng hingga kini di simpul Ibukota, saya tuliskan di blog kecil ini.

Sejauh ini baru ada beberapa. Sebut saja Antara Pancoran dan Pintu Tol, sebuah puisi untuk mengenang seseorang yang sampai sekarang belum pernah lagi saya temui.

Dari sana saya belajar bahwa dalam perjalanan hidup, ada kota yang tak lagi kita kunjungi, ada orang yang tak lagi kita temui. Ya, penerimaan atas kenyataan hidup itu mengajarkan pemaknaan dan penghargaan atas setiap peristiwa perjumpaan dalam ruang dan waktu: perjumpaan antara mata dan kota.

Ikan Asin khas Manggarai - Flores: Ikan Cara

Seperti juga kemudian, saat menuliskan rangkaian lima puisi dalam Semalam, Hari Ini, Setelahnya. Lima rangkaian puisi itu adalah sebuah tugu peringatan, bahwa dalam perjumpaan dengan orang-orang yang terkasih, ada kesalahan yang sama yang diulang berkali-kali.

Prinsip hidup dan cara kita menghadapi kehidupan seringkali membuat apa yang kita yakni berbenturan dengan apa yang dianut dan diamini orang lain.

Beberapa orang menyebutnya cacat-bawaan-karakter. Saya tidak sepaham. Saya yakin, pemahaman dan cara kita menanggapi setiap peristiwa memang bergerak dalam pola yang mirip, namun itu tak serentak membuatnya jadi penanda diri: orang ini begini, orang itu begitu.

Semalam, Hari Ini, Setelahnya adalah proses yang terus mengalir, rangkaian jawaban “saat ini” untuk pertanyaan mendasar para filsuf: Siapa Aku Sebenarnya?

Ikan Asin khas Manggarai - Flores: Ikan Cara

Esok Dalam Gelas Kopi juga adalah pengingat untuk seseorang. Memang, ada balutan kesan mistis di sana. Itu cara Nara Reba untuk mengangkat hal-hal (dan orang-orang) yang diingkari peran dan keberadaannya di dunia modern: blackhole yang turut terbawa bersama warisan adat.

Sadar atau tidak, Tasseografi Kopi atau ritual Toto Urat Manuk adalah khasanah budaya yang memang tak harus menuntut pembuktian ilmiah modern. Persis di titik inilah apa yang oleh kaum agamawan disebut ‘iman’ dipahami dalam konteks adat-budaya: misteri hidup.

Tidak semua hal dalam hidup bisa dipahami dengan kata dan data. Itulah misteri. Agama dan adat-budaya membantu kita untuk memahaminya dalam sikap diam yang bijak.

Berbeda dari taat yang buta, sikap diam yang bijak menuntut adanya kesadaran diri-pribadi, suatu sikap untuk mengamini apa-yang-tak-terjelaskan secara logis dalam pengalaman hidup setiap hari dari masing-masing orang.

Hal itulah yang membuat iman pertama-tama adalah pengakuan pribadi atas misteri hidup – bahwa dari pengalaman hidupnya, seseorang mengakui bahwa ada “sebab/penyebab” untuk hal-hal tak terjelaskan yang dialaminya.

Itulah yang kemudian saya tuangkan di Punggung Sabda, sebuah catatan perjalanan yang berangkat dari kesadaran bahwa saya terlahir sebagai orang Manggarai – Flores dan dibesarkan dalam tradisi agama Katolik yang kuat.

Dua kenyataan itu mengajarkan saya banyak hal, termasuk juga mendiktekan banyak perintah dan petuah atas nama “warisan iman”. Awalnya, geliat darah muda membuat saya berontak tak terima, berpaling.

Akan tetapi, seperti kisah Injil tetang seorang “Anak Yang Kembali Rumah Bapanya”, saya kemudian pulang; memunguti serpihan keyakinan yang pernah saya acuhkan, dan menatanya kembali. Agama dan adat kini menjadi cermin, sudah sedekat apa saya dengan orang lain, alam-ciptaan, dan akhirnya – Sang Pencipta.

Ruang Dalam Mbaru Gendang - Rumah Wunut Manggarai

Kematian adalah salah satu dari rangkaian misteri itu. Pahit, memang. Hidup, dengan perhitungannya sendiri mempunyai cara untuk membawa pergi orang-orang yang kita cintai. Terkadang, caranya dirasa tidak adil. Lemorai: Perantau Yang Kembali adalah salah satu permenungan tentangnya. Dari sana lahir kesadaran, bahwa kebersamaan memang tak akan abadi dalam tarikan nafas.

Begitulah: lahir, dibesarkan, muda dan kemudian belajar dewasa. Proses itu kadang tak memberi tempat untuk menyadari kehilangan abadi: kehilangan yang tak tergantikan oleh apapun dan siapapun, sebelum dan setelahnya.

Dan akhirnya kita sampai di sini, di Kembaran Bintang, dengan ujung permenungan yang sama: kekosongan yang tersisa selepas ditinggal-pergi seseorang tak akan dengan mudah diisi kembali oleh kehadiran orang lain – bahkan oleh kembarannya sekalipun.

Bedanya, Kembaran Bintang ditulis untuk seseorang yang masih ‘di sana’, hidup dalam keseharian dan dunianya sendiri. Catatan ini adalah catatan terakhir untuknya, setelah sebelumnya ada begitu banyak yang telah ditulis untuk namanya sejak 2004.

Gong Gendang Musik Manggarai

Cinta tak harus memiliki, itu kata-kata penghiburan yang diberikan lagu, pepatah dan puisi. Untuk kasus tertentu, iya. Kali ini, berbeda. Ketika cinta itu adalah hubungan dua pasang kekasih, memiliki adalah pengakuan mutlak untuk kesalingan yang terjadi antara dua orang.

Tanpa itu, mereka bukan lagi sepasang. Ya, saya kemudian memaknainya dengan sikap rela setiap orang tua yang melihat anaknya beranjak dewasa dan akhirnya pergi meninggalkan rumah.

Bukan berarti mereka berhenti “mencitai” tetapi mereka membiarkannya pergi untuk menjadi dirinya sendiri dan menjalani pilihan hidupnya masing-masing. Itulah yang dalam catatan setelah ini saya juduli dengan “Dua Thundang“.

Sudah kelewat pajang, ya? 🙂 Terimakasih telah membaca sampai sejauh ini. Terimakasih juga kepada Jonas. A untuk foto-fotonya yang elok di dinding Nara Reba Manggarai kali ini.

Dan akhirnya, terimakasih kepada para sahabat, saudara, rekan dan kenalan yang pernah dan akan hadir dalam perjalanan panjang ini. Berkak de Morin latang’te sangged ite. Tabe.

Artikel SebelumnyaPunggung Sabda
Artikel BerikutnyaDua Thundang