Mourinho Dan Mimpi True Blues Di Langit Kelabu
Pertandingan sebentar lagi selesai. Dengan sisa tambahan waktu +5 menit, tampaknya Chelsea harus mengaku takluk di kaki para Tjumen Atletico Madrid di kandang sendiri. Ya, mereka cuma bersepuluh, mengingat Thibaut Courtois yang malam ini tampil gemilang membela panji Los Colchoneros adalah anak tiri Chelsea. Sekali lagi, Stamford Bridge menyebar aroma kelabu bagi para True Blues. Di tepi lapangan, Mourinho tertunduk lesu. Entah bagaimana, rambut putihnya malam ini benar-benar menjadi uban, bukan mahkota seperti biasanya.
Seperti kami, ia juga menyipitkan mata elangnya, menyembunyikan penyesalan untuk kenyataan yang kami terima: dia dan pemuja panji-panji biru di seluruh dunia. Apakah taktik kami malam ini keliru? Salahkah kami, terlalu dini mengganti benteng dengan menteri, menarik Ashley Cole dan memasukkan Samuel Eto’o di menit ke-54? Kurang cermatkah kami meramu Eden Hazard dan Willian, bukannya menerbangkan André Schürrle dan César Azpilicueta sejak awal untuk menjangkau Fernando Torres? Ataukah kejatuhan itu telah dimulai dengan menaruh David Luiz dan Nascimento Ramires dalam langkah kuda sejak awal peluit pertandingan dibunyikan?
Mudah untuk mengarahkan telunjuk tepat di muka Mou (baca: kritik atas Mourinho), menuding ketidakmampuannya (atau kepercayaan dirinya?) sebagai biang keladi kekalahan kami malam ini. Betapa mudah mencari jejak kesalahan-kesalahan The Special-ist Once, ketika di semifinal Champions ia tak lagi menepukkan dada seperti empat malam lalu kala kami melibas Liverpool. Beberapa bahkan langsung berkicau di ruang forum, menganggap kekalahan José Mário dos Santos Mourinho Félix di hari kelima meninggalnya Tito Villanova adalah karma yang harus ditelan atas kelakuannya yang kurang pantas saat masih menukangi El Real?
Berawal dari Eva Carneiro dan Nascimento Ramires
Kenapa suka Chelsea? Itu pertanyaan para sahabat saat pertamakali status itu dipajang di dinding Facebook: Keep The Blue Flag Flying High (KTBFFH). Lucu saja, mengingat dulu di kompleks kos, hanya saya yang mengunci kamar (dan menyumbat telinga) saat penghuni lain menyoraki klub kesayangan mereka kala menonton pertandingan-pertandingan dini hari.
Bukan karena ingin dibilang ‘laki’. Bukan juga karena tak mau diacuhkan saat tema pembicaraan mengalir ke topik tentang si kulit bundar. Bukan karena saya ingin mencari identitas di belantara laki-laki ber-jersey. Bukan juga karena kaki saya selalu gatal ingin masuk, saat berada di pinggir lapangan futsal. Saya hanya seorang pemuda biasa, yang mencintai Chelsea sejak melihat Eva Carneiro dan Ramires Santos do Nascimento menginjak karpet hijau Stamford Bridge di 2011. Pilihan hati akhirnya dimantapkan. Saya tahu, pada klub bola mana hati saya dititipkan.
Mereka bilang saya gila. Harusnya orang jatuh hati pada “tendangan pertama”. Harusnya orang bilang cinta dan memilih satu setelah membandingkannya dengan seribu lainnya. Harusnya orang orang memantapkan pilihan karena striker (atau gelandang) ganteng berpostur gagah seperti Fernando Torres, Christian Ronaldo, atau Frank Lampard. Saya bilang, tidak. Saya masih normal, bukan ‘pecinta lelaki’. Saya memuja Eva Carneiro dan menganggap Raimires sebagai sisi lain, pribadi yang kerap tak dimunculkan alter ego ke ranah kesadaran. Itu saja.
Ya, tak harus ada alasan ‘logis’ kenapa orang jatuh cinta, cinta pada sebuah klub sepakbola. Saya menghargai wanita yang tegar dan perhatian. Saya percaya, perempuan yang tetap menawan saat tampil tomboi atau berdandan anggun adalah pribadi yang cocok untuk dijadikan teman-seperjalanan-hidup. Saya juga menganggap, wanita penyuka bola dan pecinta anak-anak adalah pacar yang layak dipertimbangkan sebagai calon istri. Itu alasan saya menyukai Eva Carneiro, wanita kelahiran Gilbraltar yang kini menjadi dokter utama Chelsea.
Sedangkan Ramires? Si kurus yang selalu tampak kedodoran memakai birunya jersey Chelsea dikenal dengan energinya yang besar dalam permainan defensif dan ofensif. Sampai musim terakhir, suami dari Islana Ros ini telah tercatat mengoleksi 12 gol: 11 dari kaki kanan, dan 1 dari tandukan kepala. Well, sejak awal kedatangannya hingga hari ini, Ramires telah mengoleksi 2 kartu merah dan 28 kartu kuning. Jumlah pelanggarannya pun cukup fantastis, 199 kali!
Tindakan indisipliner Ramires memang membahayakan posisinya di Chelsea, sebuah peluang yang dibaca Real Madrid. Juventus, si Nyonya Tua, bahkan baru saja menawarkan 12 juta Euro untuk memboyongnya ke Juventus Arena. Ah, bukankah Mourinho lebih tidak disiplin sebagai pelatih ketimbang anak didiknya yang satu ini? Ramires adalah pahlawan saya, peduli amat dia tak membela Tim Samba di Piala Dunia 2014, toh saya membela Der Panzer Jerman!!
Chelsea tanpa Mourinho, Eva, dan Ramires
Mimpi untuk memboyong trofi Championship musim ini telah kandas. Harapan untuk meraih posisi teratas di tabel Premiere League juga amat tipis. Ada gelagat, Ramires akan dilepas. Mourinho tidak sedang dalam performa terbaiknya. Eva Carneiro juga tak sanggup memulangkan Peter Cech ke balik jala dari cidera yang dialaminya saat bertamu ke markas Atetico, juga John Terry dan Eden Hazard tak sepenuhnya bugar dalam permainan terakhir. Lantas, apakah karena para pahlawan sedang ‘menjadi manusia biasa’, saya lantas memindahkan hati ke lain klub? Tidak, pecinta sejati adalah dia yang menerima kelebihan dan kekurangan pilihan hatinya dengan utuh, tanpa “tetapi”.
Berkat Mou, Eva dan Ramires, saya akhirnya akrab dengan Chelsea, merasa bagian dari mereka. Sekarang, bukan lagi “mereka” atau “klub kesayangan saya”, tetapi “kami”. Kami dari London. Kami juga dari Ruteng – Manggarai – Flores. Terakhir, kami menang melawan Liverpool. Paling akhir, kami juga sama-sama menelan pil pahit dari Atletico Madrid. Kami akan tetap berbaju biru, di Stamford Bridge, di setapak Ruteng, di klub lawan, atau saat reuni dengan rekan-rekan alumni Sanpio Kisol di Jakarta. Kami juga akan selalu mengibarkan bendara biru yang sama: KTBFFH!!
Ada jutaan penggemar Chelsea di seluruh dunia yang sejak dini hari tadi telah berkabung atas matinya harapan kami meneriakkan kata “Victory!!” sambil menepuk dada seperti yang kemarin dilakukan Mou. Meski begitu, kami akan terus mencintai Chelsea, karena kami percaya, Roman Abramovich, Mourinho, dan pahlawan-pahlawan kami yang telah berjuang sejak 1905 akan selalu menjaga mimpi kami tetap hidup, kemarin, tahun ini, tahun depan, dan sampai kapan pun.
Kami akan tetap bangga memakai kostum biru-royal dan mentato lambang singa-biru di jaket, motor, sampul buku, atau di pintu kamar. Karena kami adalah legenda, yang memasang badan di Stamford Bridge, dan menitipkan nyawa di hati penggemar di seluruh dunia. *Jejak kaki dan catatan hati True Blue Manggarai|Flores|NTT.