Di Depok, setiap kali bertemu, kami selalu punya banyak hal untuk dijadikan bahan permainan dan candaan. Dua tahun terakhir, permainan yang paling disukai Tesa dan Anjeli adalah permainan tebak-tebakan, ‘teka-teki’ kata EYD atau bundu dalam istilah Manggarai. Herannya, Mereka berdua selalu saja punya bahan tebak-tebakan baru setiap kali bertemu. Kebanyakan dari antaranya cukup sulit untuk ditebak. Kalau tak ingin memakai istilah ‘cukup sulit’, mungkin ‘mengecoh’ adalah istilah yang paling tepat. Sering, untuk beberapa saat, menyerah kalah dan kehilangan harga diri untuk beberapa detik memang terasa pahit, mengingat lawan main tebak-tebakan ini adalah weta-weta yang masih duduk di bangku kelas lima (Tesa) dan empat (Anjeli) es de. Tetapi justru itulah yang membuat permainan itu dan permainan-permainan lainnya mengasyikkan. Tak perlu ada topeng di sana, entah itu senyum pura-pura, gengsi-gengsian, atau suara yang diberat-beratkan biar kedengarannya berwibawa..
Terakhir, ketika berkumpul, permainan tebak-tebakan kami berlangsung lebih alot dari biasanya. Mungkin karena waktu berkumpul bersama yang jedanya cukup lama, masing-masing kubu akhirnya punya stok tebak-tebakan yang lebih banyak dari sebelum-sebelumnya. Saya biasanya mencari-cari bahannya di internet; cukup banyak, meski harus disortir dulu, mana yang masuk kategori anak-anak dan mana yang tidak. Mereka biasanya mendapat bahannya dari teman-teman, mungkin juga dari buku-buku bacaan; dan tiga bulan adalah waktu yang cukup lama untuk bisa mengumpulkan serentetan tebak-tebakan yang kebanyakan dari antaranya tak terjawab. Mereka menang, seperti biasanya. Seperti biasanya juga saya mengalah. Tetapi, kali ini sengatan kekalahannya terasa begitu menyakitkan. Bukan karena mereka berniat begitu, tetapi karena ada sesuatu yang lain yang terbawa bersama tebak-tebakan yang dimainkan hari itu.
—-
“Kak, coba jawab yang ini. Asalnya dari Arab. Lahir, besar, bahkan matinya di Arab, tapi ‘ga bisa bahasa Arab. Apa itu?“
Untuk sejenak, sesaat setelah pertanyaan itu dilontarkan, saya merasa seakan sudah pernah mendengar itu sebelumnya. Tetapi, kapan dan di mana, apalagi ‘apa’ jawabannya, sudah tidak lagi saya ingat.
“Abunawas?” jawab saya setengah tidak yakin.
“Salah.”
“Jin lampu?”
“Salah. Apa’an jin lampu? hehehehe…” sergah Tesa. Mereka mulai tertawa senang karena saya hanya tinggal punya satu kesempatan lagi.
“Aladin?” Itu jawaban paling logis yang bisa terpikirkan setelah lama menggaruk-garuk kepala.
“Hahahaha….” dan mereka kembali tertawa senang. Tawa kemenangan khas anak-anak.
“Nyerah, Kak?“, tanya Anjeli dengar mata berbinar mengharapkan jawaban ‘ya’.
“Iya deh, Kakak nyerah. Apa dong jawabannya?”
“Unta!!” Mereka kompak menjawab.
Satu Nol Mutlak!!—-
Tebak-tebakan itu tetap terbawa sampai saat harus pulang ke Jakarta. Unta? Benar juga: dari Arab, lahir di Arab, besar di Arab, mati pun di Arab, tetapi tidak bisa bahasa Arab. Bagaimana kalau “Dari Manggarai, lahir di Manggarai, besar di Manggarai, mati pun di Manggarai, tetapi tidak bisa bahasa Manggarai?” Tak mau disebut “Kaka Botek“, “Varanus komodoensis“, atau “Njieng“, buru-buru saya langsung membuka file kosa kata bahasa Manggarai yang sempat terselamatkan dari komputer lama. Ah, ‘grammar’ bahasa Manggarai saya masih terlalu buruk; harus banyak belajar lagi.
** Depok, dini hari, saat hujan pagi-pagi di Januari**