Aku harus berhenti menangis. Karena aku laki-laki, katanya. Laki-laki tidak menangis; hanya perempuan yang menangis, katanya. Sekali lagi, kalau kau menangis, kau bukan laki-laki. Katanya.

Dan aku tak lagi keluarkan air mata. Saat sedih. Saat kehilangan hebat. Saat berontak dan tak terima. Saat menyerah karena pasrah pada keadaan. Saat sepenggal nada membawa kenangan manis yang kini pahit bila dihadirkan.

Saat sederet kisah pilu dilontarkan dari bibir tulus yang bergetar jujur, atau saat sejenak lakon di layar perak membangkitkan sisi iba dari alam bawah sadar. … Aku tak lagi menangis; setidaknya saat ada orang, lain.

Baiklah, mari menghitung jujur. Aku pernah menangis di depan ayah. Lebih dari satu kali; padahal dia tahu, aku si sulung yang harus menjadi lelaki panutan bagi adik-adik.

Dia tak pernah bilang, kau tak boleh menangis. Dia hanya bilang, “Jangan menangis lagi”. Kali berikutnya, berwaktu-waktu kemudian, aku menangis di tema percakapan yang berbeda. Kata-kata peneguhannya masih diakhiri tepukan di pundak dan kalimat yang sama: “Jangan menangis, lagi.”

Aku juga pernah menangis di Ritapada – desa kecil di pedalaman Manggarai Timur – Flores – NTT. Saat itu akhir dari live in seminggu di tengah sebuah keluarga kecil yang mengajarkanku arti ketulusan.

Aku begitu senang live in akhirnya selesai. Berakhir sudah hari-hari mandi di kaki bukit yang beratus-ratus meter jauhnya dari rumah. Berakhir sudah pagi-pagi tanpa sarapan pengisi perut menjemput kerja keras di kebun mente seharian. Berakhir sudah masa-masa harus menahan buang air besar, karena satu-satunya tempat pembuangan akhir yang ada adalah rerimbunan semak di belakang rumah yang bisa saja ada ular hijo-nya.

Tetapi di akhir masa live-in itu, ada amplop yang diberikan di akhir kata pisah di pintu rumah. Isinya empatratus ribu, dengan pesan: “Nana, Ini uang tabungan kami setahun ini. Semoga cukup untuk biaya perjalanan kembali ke kampung ini saat liburan nanti.” Aku menangis.

Juga … tak pernah kembali.

Ahh.. Aku juga pernah menangis di depanmu. Di pelukmu, juga. Tak perlu aku uraikan lagi kapan dan di mana. Tentu masih kau ingat waktu dan tempatnya.

Sengaja tak kutulis lagi di sini, karena sebagian dari diriku ingin mengingatnya dengan manis; bahwa kau tak menghapus tiap tetes air mataku pun tak melarangnya.

Aku juga tak ingin mengenang saat-saat itu lagi, karena bagian lain dari alam bawah sadarku mengingatkan bahwa saat-saat itu aku terlihat lemah di depanmu; terlihat sebagai sosok yang tak cocok menjadi calon ayah yang tegar untuk anak-anakmu nanti.

Ahh.. seandainya aku punya kemampuan menghapus ingatan. Aku ingin menghapus kenangan saat-saat itu, saat kau merengkuhku dalam pelukan keibuan; seakan aku dibawa kembali ke masa-masa sebelum aku tak boleh menangis, katanya.

Saat ini, aku juga tak ingin menangis. Biarlah air mataku mengalir di kedua pipimu saat kau mengingatku. Lagu-lagu bernada sendu yang selalu kunyanyikan di beranda adalah isakku yang tertahan.

Catatan-catatan lepas yang kuhentakkan di punggung keyboard adalah sesenggukkanku dalam kata dan titik koma. Ingatan yang kutitipkan di langit-langit kamar saat kantuk tak datang menjelang juga adalah jejak tangis yang berbaur dalam noda kusam bekas rembesan hujan dari celah genteng.

Saat ini, dengan semua ini, saat katanya aku tak boleh menangis, saat dunia tak memberi tempat untuk air mata seorang lelaki, ada satu tanya yang kusimpan untukmu. Maukah kau saat ini, sekali lagi, teteskan airmataku lewat celah kedua matamu? Aku akan menghapusnya dengan sedihku dalam lagu, dalam catatan, dalam kenangan …

Artikel SebelumnyaBabad atau Tombo Turuk – Catatan Terakhir
Artikel BerikutnyaMemperjuangkan Nara Reba Manggarai di Mata Google