sendalatausandal

Sepasang Sandal: satu untuk kaki kiri, satunya lagi untuk kaki kanan. Terlihat tak terpisahkan namun selalu “berjalan” sendiri-sendiri. Memang, pada akhirnya keduanya akan bertemu kembali tiap kali diletakkan di depan pintu atau saat dijejalkan di rak sepatu. Ah, bukankah hidup semirip itu?

Di satu sisi, orang Manggarai melihat manusia sebagai satu kesatuan, baik sebagai individu dalam hubungan dengan masyarakat secara keseluruhan, maupun antara dunia batin dan dunia lahir. Di sisi lain, orang Manggarai juga membuat pemisahan antara orang luar dan orang dalam, dunia batin dan dunia lahir. – Mariberth Erb

Sepasang Sandal

Masih kita terkatung-katung,
terapung enggan berenang antara hilir dan hulu,
tak lagi mempersoalkan hidup,
tak juga mencari jawab atas hidup dan masalahnya..

Masih kita terkatung-katung…

Hanya terapung
Seperti satu dari sepasang sandal
hanyut dan akhirnya diam di tengah alur
Enggan ke hilir.. tak mau ke hulu..

Bukan karena hidup tak lagi punya soal
atau karena tubuh tak lagi dapatkan sentuh

Kulihat karena kita kelewat kebal;
kebal rasa dan tak lagi merintih
kebal hati dan tak lagi peduli
kebal miskin dan tak lagi berjuang
kebal menderita dan tak lagi saling menguatkan

Hidup (ini) masih panjang, mungkin.
Cuma waktu (kita) telah lama habis, tentu.
Sejak kebersamaan (itu) kelewat dianggap anugerah,
tak lagi ada batas diri:
Matamu adalah mata kita; hatiku adalah hati bersama..

Aku masih mencari satu dari yang sepasang itu,
sandal yang lupa ikut hanyut sejak pertama..

Mungkin jika sepasang,
akan bisa diputuskan;
mau hanyut dan terus ke muara laut..
atau berenang dan sampai ke mata air hulu..

Aku sudah siap,
sejak dulu;
jika toh satu dari yang sepasang lagi itu
nantinya bernama nista, samsara, atau durga,
atau sebaliknya..

Asalkan kita tak lagi
cuma punya satu dari sepasan
yang terkatung-katung di tengah alur
Entah enggan hanyut,
Entah enggan berenang..

Benar-benar punya sepasang;
Lengkap susah-senangnya, senyum-sengsaranya, tawa dan tangisnya..

Soal hanyut atau berenangnya
jika kita tak bisa,
Masih ada Tuhan..

Diperbaharui pada Februari 2015

Sesaat sebelum mengolah catatan untuk Puisi ini, saya sempat singgah di beranda Facebook. Entah kebetulan atau tidak, ketika sedang kebingungan hendak menuliskan apa sebagai catatan kaki, Seorang senior memajang link tulisan tentang “Pasangan Hidup” di halaman Facebooknya: “Hujan Diciptakan Agar Kau Tahu Rumah Itu Hangat” oleh Illo Djeer.1… Mungkin saya berlebihan, tapi saya sangat yakin melihat cinta dalam percakapan mereka, walau kata-kata yang terucap tertutup deru hujan. Begitu Om Illo membuka ceritanya di illoguitar. Setelah membaca dan merenungkannya sejenak, tiba-tiba ada kilatan ide yang mendadak terpantik.

Ingatan membawa saya kembali awal tahun 2010, ketika seorang senior blogger Manggarai lainnya memposting tulisan “Senang Berjumpa, Panggil Saja Saya … !”. Blog itu punya seorang Misionaris yang saya kagumi tulisan-tulisannya: Pater Henri Daros, SVD. Dalam tulisannya, beliau menyinggung soal perjalanannya ke kota Verona – Italia, soal “perjumpaannya” dengan Romeo and Juliet.2Membaur di antara para pengunjung yang rata-rata berpasangan, dan terlihat sangat menikmati kemesraan ala Romeo-Juliet di situ, membuat perhatian sempat terbagi. Di bawah balkon, dekat patung perunggu Juliet, saya tersenyum membayangkan Romeo yang konon nekat memanjat dalam keremangan, dan berhasil. Lantas terkenang sepenggal bisikan Juliet kepada Romeo, sang perjaka nekat. What’s in a name? That which we call a rose By any other name Would smell as sweet – dikutip dari penggalan catatan perjalanan Pater Henri Daros, SVD

Dua tulisan yang bebeda. Di dalam tulisannya, Om Illo Djeer berbicara tentang “pasangan” dan perasaannya tentang itu dari pengalamannya sebagai seorang suami, ayah, sekaligus kepala keluarga. Sementara dalam penggalan kisahnya tentang perjalanan ke rumah keluarga Juliet, Pater Henri berbicara tentang “pasangan” dari sudut pandang seorang biarawan, seorang yang telah bersumpah setia untuk hidup selibat sampai akhir hayat.

Ada sesuatu di sana, rasa menggelitik yang muncul setelah sejenak membaca ulang tulisan Om Illo dan berpindah ke tab baru, ke tulisan Pater Henri. Ada sesuatu yang ingin diungkapkan kedua tulisan yang lahir dari sudut pandang berbeda itu. Saya tahu, ada sesuatu di sana, sesuatu yang juga muncul saat dulunya menuliskan “Sepasang Sandal” ini. Hanya saja, saya kesulitan untuk menggali kembali dari tumpukan ingatan dan pikiran yang penasaran, apa “sesuatu” itu.

Menggaruk-garuk kepala yang tak gatal, menghembuskan nafas panjang berasap tembakau sekian kali, juga menghentakkan jari-jemari di atas keybord tak memunculkan “sesuatu” itu ke permukaan. Saya lalu membatin, “tidak mungkin saya lupa dengan alasan karena dan untuk apa puisi ini ditulis. Tidak Mungkin! Tidak mungkin juga saya sudah kelewat ngantuk untuk mencerna, apa makna tulisan kedua senior itu untuk saya. Tidak mungkin!!”

Saya tak ingin “gagal” seperti sebelumnya, saat harus merevisi “Langgo: Mendadak Homesick” sampai tiga hari penuh.3Ya, menghadirkan kembali coretan iseng tentang Langgo dalam gaya bahasa yang baru, memang butuh waktu tiga hari. Tiga hari yang penuh dengan garukan di kepala, sekian batang Gudang Garam terhembus, dan ketukan-ketikan tak sabar di atas toots keyboard. ASh, akhirnya jadi juga. Proyek Wajah Baru Nara Reba Manggarai harus selesai di bulan Maret ini. Tersandung tiga hari di setiap tulisan lama yang direvisi, sama saja berarti gagal. Kemarin, saya sudah jatuh di Langgo, di catatan tetang kerinduan akan kampung halaman. Saya tidak ingin terjerembab lagi di sini, di puisi tentang Sepasang alas kaki!!

Saya terus mengulang-ngulang itu, tidak mungkin.. tidak mungkin saya lupa. Saya hanya kehilangan kata untuk menghadirkan kembali, apa yang saya alami saat menuliskan puisi ini dan hubungannya dengan tulisan kedua senior. Dan… Eureka!!! Ya, itu dia!! Tidak mungkin, The Imposible: film yang diangkat Sergio G. Sanchez dari kisah nyata sebuah keluarga asal Spanyol yang mengalami bencana tsunami di Tailand pada tahun 2004.

Dalam film itu diceritakan, Henry Bennet (Ewan McGregor) beserta istrinya Maria (Naomi Watts) dan anak-anaknya Lucas (Tom Hollland), Thomas (Samuel Joslin) dan Simon (Oaklee Pendergast) sedang berwisata ke Thailand. Mereka menginap di Orchid Resort Beach di daerah Khao Lak Thailand yang merupakan penginapan di pinggir pantai dengan pemandangan ke laut lepas. Pada hari saat mereka tengah bersantai di sekitar kolam renang, bencana Tsunami pun datang.4Jika ingin tahu kelanjutan cerita serta kisah lengkap “The Imposible”, seorang sahabat blogger Indonesia telah membuat review singkat filmnya.

Hanyut tersapu gelombang membuat Maria dan putra sulungnya Lucas terpisah dari suaminya Henry yang kebetulan “selamat” bersama kedua putra mereka yang lain, Thomas dan Simon. Demi mencari istri dan anak sulungnya, Henry pun meminta Thomas, puteranya yang berumur tujuh setengah tahun, untuk menjaga adik bungsunya yang masih kecil (Simon) selama ia pergi ke tepi pantai untuk memulai pencarian. Ada percakapan mengiris hati yang terjadi antara Henry dan Thomas sesaat sebelum Henry mengantar Thomas dan Simon ke dalam truk regu penyelamat.

Henry: But you know, you know, the most scary bit for me?
Thomas: When the water hit?
Henry: No. After that, when I came up, I was on my own. That was the scariest part. And when I saw the two of you clinging to the tree, I didn’t feel so scared anymore. I knew I wasn’t on my own. You see?5Kutipan percakapan antara Henry dan Thomas ini diambil dari IMDb quotes: Lo imposible (2012).

Henry mencoba meyakinkan Thomas untuk berusaha mengatasi ketakutan ditinggal-pergi olehnya. Ia berjanji untuk menyusul Thomas dan adiknya di penampungan, tetapi sebelumnya ia harus mencari Maria dan Lukas. “Ibu dan kakakmu ada di luar sana,” katanya pada Thomas, “bayangkan ketakutan mereka saat tidak menemukan kita bertiga.”

Film itu menggambarkan secara persis, apa yang tadinya saya maksudkan dengan sesuatu: perasaan dibutuhkan sekaligus membutuhkan, perasaan takut kehilangan sekaligus tak ingin sendirian di dunia ini, perasaan ingin dimengerti sekaligus berusaha untuk memahami apa yang dirasakan oleh yang lain, dan jutaan “kesekaligusan” bertema serupa yang kita alami dalam keseharian.

Perasaan itu tidak dialami dengan semua orang. Hanya dengan orang-orang tertentu. Orang-orang tertentu itulah yang kita sebut Pasangan dalam arti yang sebenarnya, entah kemudian dilabeli dengan cara berbeda: Pacar, Saudara, Sahabat, Teman Karib, Suami / Istri, Keluarga, … Tetapi sekali lagi, meski berpasangan dalam banyak arti, kita tetaplah satu sandal yang takut terpisah dari sandal lainnya.

Bagaimana mungkin? Yaa… Itu seperti tidur di kasur yang sama tetapi bermimpi tetang hal yang berbeda. Ada rasa kehilangan, ketika engkau tahu, bahwa engkau tidur sendirian; seperti juga rasa kehilangan, ketika terbangun dan mendapati kasur kosong di sebelahmu. Engkau tak peduli apa mimpimu sama atau tidak; engkau hanya butuh orang di dekatmu agar bisa tidur dan bermimpi.

Sudahlah. lagipula, ini sudah kelewat subuh. Bila tulisan ini pun susah dimengerti, anggap saja kita bukan pasangan; bukan teman, bukan sahabat, apalagi pacar. Kita hanya kebetulan bersinggungan di suatu tempat di jagat maya yang mahaluas ini. Apapun itu, terimakasih sudah mampir dan memelototi sepasang sandal di beranda Nara Reba. Mungkin sandal yang Anda cari ada di beranda lain. Tabe.

Catatan Narareba:

  • 1
    … Mungkin saya berlebihan, tapi saya sangat yakin melihat cinta dalam percakapan mereka, walau kata-kata yang terucap tertutup deru hujan. Begitu Om Illo membuka ceritanya di illoguitar.
  • 2
    Membaur di antara para pengunjung yang rata-rata berpasangan, dan terlihat sangat menikmati kemesraan ala Romeo-Juliet di situ, membuat perhatian sempat terbagi. Di bawah balkon, dekat patung perunggu Juliet, saya tersenyum membayangkan Romeo yang konon nekat memanjat dalam keremangan, dan berhasil. Lantas terkenang sepenggal bisikan Juliet kepada Romeo, sang perjaka nekat. What’s in a name? That which we call a rose By any other name Would smell as sweet – dikutip dari penggalan catatan perjalanan Pater Henri Daros, SVD
  • 3
    Ya, menghadirkan kembali coretan iseng tentang Langgo dalam gaya bahasa yang baru, memang butuh waktu tiga hari. Tiga hari yang penuh dengan garukan di kepala, sekian batang Gudang Garam terhembus, dan ketukan-ketikan tak sabar di atas toots keyboard. ASh, akhirnya jadi juga.
  • 4
    Jika ingin tahu kelanjutan cerita serta kisah lengkap “The Imposible”, seorang sahabat blogger Indonesia telah membuat review singkat filmnya.
  • 5
    Kutipan percakapan antara Henry dan Thomas ini diambil dari IMDb quotes: Lo imposible (2012).
Artikel SebelumnyaLanggo: Mendadak Homesick
Artikel BerikutnyaEsok Dalam Gelas Kopi