Reuni adalah saat untuk menghimpun kenangan dan menghadirkannya dalam konteks kekinian. Ada kebanggaan yang terungkap saat itu, rasa syukur untuk pencapaian hidup sejauh ini. Ada juga perasaan kehilangan; untuk mereka yang tak bisa ikut hadir, atau untuk mereka yang telah berpulang ke pangkuan Sang Khalik. Lemorai: Perantau Yang Kembali – jejak bersama dalam sebuah perjalanan.
A friend is like a good bra: hard to find, comfortable, supportive, always lifts you up, makes you look better, never lets you down or leaves you hanging, and always close to your heart. – Unknown
Sekali lagi, saya mohon maaf sebelumnya; sebagian kisah ini sengaja tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk menjaga keaslian ‘rasa’ saat dicicip di beranda maya.
Membacanya, mungkin akan butuh penerjemah. Sebaiknya dia orang Manggarai – tak harus penerjemah bersertifikat resmi. Jika memang tak ketemu, Anda bisa langsung ke pojok bawah, ke kolom catatan. Tabe.
Martinus Fortuna Lemorai
Duduk di keremangan bayang evergreen belakang, kita bertiga: aku, kau, dan si guru Matek. Jejak dentang lonceng makan malam masih terasa menggetarkan udara. Siapa peduli? Lauknya pasti itu-itu lagi: cemba dan kacang hijo beraroma ngengat. Ampuuunn!!
Aku ingat, kita pernah sepakat kalau tikus pun akan menutup hidung saat berjinjit dekat pantri belakang, tempat kita biasa menyelundupkan ikang fosil dengan jari-jemari gemetar takut ketahuan. Aiss… Mungkin malam ini sayurnya pake bumbu Sasa-Rasa-Jasad-Serangga. Ups!!
“Aku ge!” katamu merebut Surya 12 yang bahkan belum separuh batang kuhisap.
“Olee.. toe di tah.. ho’o di sua ngkali kembusn daku bao e…” protesku tak terima.
Seperti biasa, hanya kita berdua yang selalu bertengkar soal sebatang tembakau yang diisap bertiga. Ical, si guru Matek, sejak dulu memang tak pernah berbakat serobot. Diakalin tugas piket ‘putar kopi’ saban sore pun dia tak bakalan protes. Legowo, mungkin sudah jadi nama tengahnya.
Beda dengan kau, juga aku. Seandainya tiga kata nama kita harus ditambah nama tengah juga, kau pasti Martinus Rengus Fortuna Lemorai dan aku Robertus Ndu’us Bellarminus Thundang.. Wahh, kaco kampong!
“Eng peh, Obeth. Jiri apa tuang dite ho’o diang ce suan eme nggo’o taung modeld ite ho’o?” Itu pertanyaanmu sambil hembuskan bentuk O dengan kepulan asap. Ah, itu trik yang tak pernah bisa kutirukan hingga hari ini.
Aku enggan menjawab. Rasa-rasanya itu pernyataan, bukan pertanyaan. Iya, ya? Apa nantinya saat membagi-bagikan hosti, aku masih ingat bahwa tangan-tangan ini juga yang dulu kupakai untuk melancarkan sabotase dan kejahatan kecil di asrama? Tako sawo, padut, nio, dan harta benda OSIS lainnya? Belum lagi bolos misa, coneng anggur, tapa rongko, ceha surat kores… Ckckck…
“Inti’n ta, jadi manusia kin.” Ical tiba-tiba memecah keheningan dengan suara polosnya.
“Hikhik.hik.hik.hik…” Dan kita pun tertawa tertahan, cekikikan takut ketahuan Father yang waktu itu belum ke Patres.
Entah sekarang, apa Ical masih seperti itu; yang celetukan polosnya membuat semua orang terbahak, tanpa dia tahu apa-nya yang lucu. Heuheuheu…
Benar juga. Apanya yang lucu? Toh siapa dan apa pun kita saat ini, tahun depan atau sepuluh tahun lagi kita tetap jadi manusia; bukan malaikat, dan mudahan-mudahan bukan setan. Ya, entah itu manusia-frater, manusia-pastor, manusia-bruder, manusia-guru‘gama, manusia-pe’en’es, atau manusia-puskesmas sebagaimana ayah yang selalu kau bela dan banggakan.
“Benar e… Belum tentu tiba taung ranga dite so’o eme lamar ngger le Seminari Tinggi du kelas enam cepisa”, katamu sambil desiskan hembusan ketiga. Hembusan ketidakpastian (atau ketidakyakinan?). Aku yang waktu itu masih diakui sebagai tukang ongga tembok dan peramal angkatan, membacanya sebagai tanda-tanda bahwa kau dan kami berdua tak akan bertahan lama selepas beranjak dari lembah Poco Ndeki.
“Ho’o, Masut. Hau ge!” katamu menyebut nama belakang Ical sambil menyerahkan batang rokok yang entah tinggal berapa hisapan lagi.
“Inti’n ta.” Ical menghisap tarikan pertama sambil menelurkan lagi kata pamungkas khas-nya. “Inti’n ta” ulangnya lagi dengan asap terhembus, “banyak yang dipanggil, sedikit yang dipilih, Eces yang menentukan”
“Hahahahaha !!” dan kita tertawa lagi. Berbarengan. Ah… Choise. Mengingat saat-saat itu, rasa-rasanya aku ingin meninju mukamu saat ini.
Malam itu, setelah berdupa bertiga, kita kembali ke kamar makan. Seperti biasa, Ical jalan dengan kepala tertunduk, aku dengan langkah ter-saruk. Kau masuk paling belakang; dengan kepala tegak dan langkah yang pasti, seakan tak takut dengan hujaman tatapan-tatapan yang bertanya: “Kole nia mai kaut meu e?”
Bayangkan, teman. Hampir empat tahun lebih kita habiskan dengan keakraban yang serupa. Tahun keempat kita kehilangan Ical, yang seperti nubuatnya sendiri, ‘atas penentuan Eces’ harus pindah ke ladang Setia Bhakti. Empat tahun, teman. Di Kapel, di Kelas, di kamar makan, di kamar tidur, di ruang rekreasi, (kecuali di lapangan, karena kau pemain inti dan aku masuk partai cengi).
Empat tahun!! Bukan hal yang mudah untuk mulai menjalani awal tahun postulat tanpa senyum simpulmu. Bukan masa-masa yang mudah di Pagal, mereguk kopi secangkir tanpa ditemani bayolanmu. Juga, bukan tahun-tahun yang mudah menjalani hidup tanpa pernah menemukan lagi kawan, musuh, sahabat, sekaligus saudara sepertimu.
Tiga tahun lalu, saat aku kebetulan pulang, itu pertemuan kita yang terakhir. Meski fisik telah berbeda, suara telah berubah, dan cara pandang kita terhadap dunia sudah berlainan, kau masih punya keramahan pandangan mata yang dulu.
Aku masih ingat, saat-saat itu. Dengan bangga kau tunjukkan foto-foto di dinding rumahmu saat kita, dalam gaya culun anak-anak akil baliq, berpose dengan kostum kebanggaan angkatan: Ajax Amsterdam. Kita lalu kembali memutar ingatan dan saling meninju bahu serta berurai air mata tawa, saat ingat betapa memalukannya pengalaman di masa-masa SMA dulu.
“Ingat tentang Ivone Agur dan surat kores berumur separuh semester?” kataku waktu itu..
“Hahahahaha…”
“Eee.. Thundang. Gaya keta hau, padahal empat per lima kau punya surat untuk Jisty Nanus saya yang tulis. Kan dia langsung putus kontak waktu kau balas pake kau punya huruf sendiri.”
“Hahahahaha…”
Aku menyesal. Liburan terakhirku kelewat singkat, Ruteng kelewat hujan, dan kepulanganku kelewat buru-buru. Aku tak sempat berkunjung ke Cancar. Maafkan aku, sobat. Sepertinya, rasa duka dan bersalah ini akan semakin dalam saat aku ingat yang dulu pernah kau bentakkan untukku saat Karya Tulisku belum selesai-selesai tersita waktu di Puspita dan Gesan.
“Tida ada kata ‘tidak ada waktu’. Sangged taung ite ho’o 24 jam teing le Mori’n, toe manga ata lebih do. Eme dise Break bab tiga’s ga, co’o tara do keta alasan de hau. Tae kaut eme ngonde, maram aku bantu ketik.”
Kawan, betapa aku kehilangan. Begitu pun teman-teman. Mereka juga merasakan hal yang serupa, meski dengan pengalaman yang beda. Malam ini, aku tetap tak bisa memejamkan mata. Aku tak pandai berdoa seperti dulu. Aku juga tak pandai tersedu-sedan.
Malam ini, yang kulakukan adalah mengingatmu dan berjanji pada diriku sendiri dan Tuhan. Meski kau telah pergi, ingatan tentangmu akan selalu hidup dalam hatiku, dalam hati kami; teman-teman angkatan 1999 Seminari Pius XII Kisol. Selamat Jalan, Choise. Doa kami untukmu.
Jejak Nara Reba Manggarai:
Orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Itu kata Pramoedya Ananta Toer dalam Rumah Kaca novel terakhir Tetralogi “Buru” yang menjadi penutup untuk tiga novel sebelumnya: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Jejak Langkah.
Mengenang Seorang Sahabat
Choise Lemorai, begitu ia akrab disapa. Lahir 13 April 1986, meninggal 10 Februari 2012. Ia memang tak seperti Pram dengan novel-novelnya – tak sering menulis. Tetapi ia abadi: di Facebook dengan status-status yang pernah dipostingnya di wall-nya sendiri atau di grup-grup alumni Seminari Kisol, juga di Nara Reba Manggarai.
Ya, bahkah setelah sekian tahun berpisah selepas SMA, ia tetap menyimpan kharisma yang dulu di dinding Facebooknya Choise Lemorai: tegas, cerdas, kritis, bersahabat, jarang senyum namun humoris. Beberapa statusnya yang menggelitik masih abadi di sana, semisal: Jika s`seorang melemparmu dengan batu, balaslah dia dengan melempar bunga… Tapi pastikan engkau melemparx sekalian dengan Potnya. Hahahahaaaa – Status FB-nya pada 27 September 2011.
Atau yang ini: Demi mghemat waktu dan tenaga, sekelompok pelajar memanfaatkan transtool Google untuk menterjemahkan makalah kelompok ke dlm bahasa Inggris. Setelah selesai, mereka heran coz nama anggota kelompok diterjemahkan juga ke dalam bahsa Inggris: “John Amat” menjadi “John VERY”. “Jack Jebatu” menjadi “Jack JeSTONE”. “Heron Anggur” menjadi “Heron WINE”. ANEH TP NYATA, hahahahaaaa….. – Status Facebooknya bertanggal 1 Oktober 2011.
Aisss… Choise. Di Nara Reba namanya hanya tersirat jelas di tulisan ini. Tetapi sebenarnya ia ada, hadir dalam ingatan Antara Pancoran dan Pintu Tol bahwa dalam perjalanan hidup, ada kota yang tak lagi kita kunjungi, ada orang yang tak lagi kita temui. Ia juga ada di Gatot, Robert dan Agus saat kami sama-sama dimarahi frater pembina: ”Lain kali, kalau masih ada apinya, jangan buang puntung di bawah orang punya tikar. Tadi pas saya masuk, saya liat ada berapa memang ’titik api’ di tikar-tikarnya om Hans.”
Di Sanpio – Kisol, bersama Choise, kami menjadi empat serangkai: Eman Segu, Choise Lemorai, Rizal Masut, dan Obeth Thundang. Ketika Rizal pindah ke SMA Setia Bhakti – Ruteng, tempatnya digantikan oleh Roland Jemuru. Dan, legenda The Three Musketeers ala Lembah Poco Ndeki1Lembah Poco Ndeki: cara kami untuk mengistilahkan Seminari Pius XII Kisol (Sanpio). Poco Ndeki adalah sebuah bukit kecil yang terletak di Kisol, Manggarai Timur, Flores. Bersama Poco Lando dan poco-poco lainnya, Poco Ndeki mengapit lembah Kisol dan menganugerahinya dengan kesejukan alam dan kesuburan yang luar biasa. Sanpio didirikan di lembah itu. yang telah terjalin sejak 1999 itu pun berlanjut hingga 2005, saat kami memutuskan untuk mengambil jalan yang berbeda. Eman dan Choise memilih untuk mengejar matahari Timur – ke jalur Imam Diosesan (Projo), sementara Roland dan saya memilih untuk mengangkat sauh menuju pusat peradaban di Barat – di Ordo Saudara-saudara Dina (OFM).2Sekelumit cerita tentang perjalanan selama masa postulat dan novis OFM bisa dibaca di Catatan Nara Reba Manggarai sebelumnya, terlebih khusus dalam catatan untuk Puisi Pamitan Yudas
Reuni: Membekas Tapak, Menoreh Jejak
Pagal – Cibal, Manggarai, Flores. Tiga hari setelah natal 2014. Kami diundang untuk mengikuti perayaan Misa Perdana seorang teman angkatan yang baru saja ditahbiskan menjadi Imam Fransiskan: Pater Yohanes Wolfram Rahmatfajar Udi, OFM. Dari 108 siswa yang lolos seleksi masuk ke Seminari Kisol di bulan Juli 1999, Epik (begitu dulunya kami menyapa Pater Hans) adalah satu dari sedikit teman angkatan yang akhirnya dipilih Sang Imam Agung untuk bekerja di Kebun Anggur-Nya.
Kebetulan, Roland jemuru (Roland), Nur Suparman (Arman), dan saya Desember itu sedang berlibur ke Manggarai. Bersama kawan Joan Jenidu (Joan) yang sejak setahun lalu telah bermukim di Ruteng, kami pun sepakat berangkat dari Ruteng ke Pagal untuk menjawab undangan itu.3Pagal, ibukota kecamatan Cibal berjarak 21 km dari Ruteng, ibukota kabupaten Manggarai. Bagi orang Manggarai yang besar di masa 90an, perjalanan Ruteng-Pagal identik dengan “Cinta Indah”, nama armada angkot (kami menyebutnya bemo) yang melayani rute 21 km itu (bandingkan cerita kak Roman Rendusara di Kompasiana). Hari itu kami tidak ‘naik’ otto Cinta Indah, tetapi berkendara dengan motor masing-masing. Ah, sungguh perjalanan yang menyenangkan menyusuri jalan jalur ke arah Pantai Utara Flores itu. Anda tak akan percaya dengan keajaiban alam di sepanjang perjalanan. Di tengah perjalanan, barulah saya tahu kalau kawan Jones Haring (Jones) dan Hendro Marcelino (Hendro) juga ikut berlibur. Terpisah dari iring-iringan motor kami, mereka telah berangkat beberapa jam sebelumnya.
Sungguh tak terduga! Di Pagal, kami bertemu dengan Kawan Ebby Tajak (Eby) yang ternyata mengurus dekorasi acara Pater Hans. Seakan itu belum cukup mengagetkan, MC (pengarah acara) dalam syukuran setelah Misa adalah teman angkatan kami juga: kawan Azir Harwito (Azir) yang ternyata telah menetap di Pagal dan berkarya di Kantor Camat pagal. Keterkejutan itu pun bertambah dengan munculnya kawan Theo Ndorang (Theo) di tempat parkir; ia seakan menyembul dari wormhole4Wormhole atau Lubang Cacing adalah istilah yang dipakai di dunia fisika dan fiksi untuk menyebut jalan pintas melalui ruang dan waktu. Terakhir, saya mendengar kembali istilah itu dalam sebuah film yang diputarkan oleh HBO: Mr. Peabody & Sherman dalam kisah mereka berpetualang menjelajah lintas ruang dan waktu. Artikel yang berisi penjelasan yang cukup lengkap dan ilmiah mengenai Wormhole bisa Anda baca di beranda Scientific American terbawa angin sihir. Akhirnya, saat tahu bahwa Romo Ferdy Usman, Pr. (Romo Ferdy) – juga teman angkatan – turut hadir dalam perayaan itu, reuni itu pun lengkap sudah.5Reuni (re – unity: bersatu kembali) adalah sebuah pertemuan kembali. Reuni yang dimaksud di sini adalah istilah Reuni Kelas (Wikipedia) di mana peserta reuni mengingat kembali atau bernostalgia tentang hari-hari sekolah mereka dulu; dengan detail mengingat teman-teman yang suka usil, dan bercerita tentang apa yang terjadi dengan masing-masing mereka sejak berpisah dan terpencar-pencar. Saya sendiri lebih tertarik ke refleksi Ade Sulaeman tentang reuni di Intisari Online berjudul: Reuni Bukan Sekadar Ajang Kumpul.
Setelah acara reuni, kami berkumpul di rumah kawan Tinus Pa’at (Tinus) yang saat itu belum mendapat izin cuti dari kantornya di Jakarta. Ah, banyak cerita yang bergulir di sana, mengalir bersama kacang atom dan Sopi Manggarai yang disuguhkan dengan penyambutan yang hangat oleh Bapa dan Mama-nya Tinus. Kami mengulang kembali kisah-kisah kocak semasa masih tinggal di bawah satu atap di Asrama Seminari Kisol dan tertawa terbahak-bahak bersama. Kami juga sama-sama terdiam beberapa detik setelah nama Choise Lemorai disebutkan, seakan mengheningkan cipta.
Ada rasa haru yang tercampur ketika mendengar cerita-cerita tentang perjuangan para sahabat yang akhirnya memilih untuk mengambil jalan lain di Seminari Tinggi. Ada salut yang terbaca di setiap wajah, setelah mendengar catatan perjalanan yang masing-masing disharingkan. Ada tanya yang terlontar untuk kabar terbaru dari beberapa teman yang seakan menghilang entah di mana rimbanya. Ada … Ah, begitu banyak yang terjadi hari itu. Benar-benar sebuah reuni setelah limabelas tahun berlalu!!
Kami memang memutuskan untuk mengikuti testing masuk ke Seminari Kisol dengan harapan bisa terpilih menjadi Imam: bekerja di Ladang Tuhan sebagai pelayan umat-Nya. Dalam perjalanan kami kemudian, dari 108 orang , yang benar-benar dipilih Sang Gembala Agung untuk menjadi imam hanya beberapa orang – bisa dihitung dengan jari. Saya jadi teringat dengan pernyataan Eric kepada para calon Dauntless di film Divergent: “You chose us. Now we have to choose you.”6Divergent adalah film yang bercerita tentang dunia manusia di suatu masa. Di sana, pengelompokkan masyarakat dibagi ke dalam lima jenis berdasarkan kharasteristik orang-orangnya. Kelima kategori tersebut adalah Candor (jujur), Erudite (genius), Amity (suka damai), Dauntless (pemberani) dan Abnegation (penolong tanpa pamrih). “Divergent” yang menjadi judul film itu adalah jenis yang tidak termasuk ke dalam kelima jenis kategori karakteristik yang disebut sebelumnya karena memiliki berbagai macam kepribadian yang menonjol dalam dirinya. Ada banyak pembelajaran menarik yang bisa dipetik dari film itu. Anda mungkin bisa memulainya dari kutipan-kutipan yang diambil saat sang pemeran utama, Tris (Shailene Woodley) akhirnya memilih untuk masuk ke golongan Dautless.
Ya, kami yang lain memang tidak dipilih. Akan tetapi, niat untuk membaktikan hidup kepada sesama, serta nilai-nilai hidup Kristiani yang kami timba dan dapatkan di sekolah pendidikan calon imam itu senantiasa kami bawa ke manapun kami pergi dan di manapun kami berada. Satu catatan akhir yang sempat saya sampaikan ketika diberi kesempatan mewakili teman-teman untuk menyampaikan pesan-kesan tentang Pater Hans di hadapan para undangan acara syukuran misa perdana itu:
“… Kami adalah teman-teman Pater Hans yang tidak ikut terpilih menjadi pekerja di Kebun Anggur Tuhan. Tetapi, yang kami tahu, Tuhan punya banyak kebun: kebun tete daeng (singkong), kebun kopi, kebun kemiri, kebun kelapa, dan masih banyak lagi. Saat ini, kami bekerja di sana. Mungkin, dengan caranya sendiri Tuhan tahu bahwa kami akan lebih banyak berbuat dan berbagi dengan bekerja di kebun-kebun yang sekarang ketimbang di Kebun Anggur. Satu yang kami yakini bersama, Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk masing-masing orang, dan tahbisan imam ini adalah jalan terbaik bagi Pater Hans untuk berkarya sebagai sahabat sekaligus gembala bagi kami-kami yang lain.”
Di akhir kesan-pesan dan perkenalan itu, bersama Pater Hans kami bersebelas menyanyikan sebuah lagu. Sebuah lagu syukur, sekaligus refleksi kami untuk jejak dan tapak yang telah ditorehkan hingga sejauh ini. Sebuah lagu sederhana, yang di dalamnya terungkap rasa terimakasih kami untuk para orang tua dan keluarga, guru dan penjasa, sahabat serta kenalan yang dengan caranya sendiri telah dan pernah menuntun kami berjalan hingga di titik ini: Indah Rencanamu7Indah Rencanamu. Saya sedikit terkejut ketika membolak-balik Google dan menemukan bahwa lagu rohani ini ternyata dipopulerkan oleh Meriam Bellina, seorang artis Indonesia kawakan yang wajahnya kerap menghiasi layar kaca Indonesia, dan kebanyakan mengambil peran antagonis. Ah, ya. Itunes masih menyimpan lagu itu dengan cover lamanya, wajah meriam Bellina dalam balutan baju cokelat yang manis.
Indah rencanaMu Tuhan, di dalam hidupku
Walau ‘ku tak tahu dan ‘ku tak mengerti semua jalanMu
Dulu ‘ku tak tahu Tuhan, berat kurasakan
Hati menderita dan ‘ku ‘tak berdaya menghadapi semua
Tapi ‘ku mengerti s’karang, Kau tolong padaku
Kini ‘ku melihat dan ‘ku merasakan indah recanaMu
Kini ‘ku melihat dan ‘ku merasakan indah recanaMu
Choise Lemorai, terimakasih telah menjadi sahabat seperjalanan kami. Doa kami untukmu, selalu.
Catatan Narareba:
- 1Lembah Poco Ndeki: cara kami untuk mengistilahkan Seminari Pius XII Kisol (Sanpio). Poco Ndeki adalah sebuah bukit kecil yang terletak di Kisol, Manggarai Timur, Flores. Bersama Poco Lando dan poco-poco lainnya, Poco Ndeki mengapit lembah Kisol dan menganugerahinya dengan kesejukan alam dan kesuburan yang luar biasa. Sanpio didirikan di lembah itu.
- 2Sekelumit cerita tentang perjalanan selama masa postulat dan novis OFM bisa dibaca di Catatan Nara Reba Manggarai sebelumnya, terlebih khusus dalam catatan untuk Puisi Pamitan Yudas
- 3Pagal, ibukota kecamatan Cibal berjarak 21 km dari Ruteng, ibukota kabupaten Manggarai. Bagi orang Manggarai yang besar di masa 90an, perjalanan Ruteng-Pagal identik dengan “Cinta Indah”, nama armada angkot (kami menyebutnya bemo) yang melayani rute 21 km itu (bandingkan cerita kak Roman Rendusara di Kompasiana). Hari itu kami tidak ‘naik’ otto Cinta Indah, tetapi berkendara dengan motor masing-masing. Ah, sungguh perjalanan yang menyenangkan menyusuri jalan jalur ke arah Pantai Utara Flores itu. Anda tak akan percaya dengan keajaiban alam di sepanjang perjalanan.
- 4Wormhole atau Lubang Cacing adalah istilah yang dipakai di dunia fisika dan fiksi untuk menyebut jalan pintas melalui ruang dan waktu. Terakhir, saya mendengar kembali istilah itu dalam sebuah film yang diputarkan oleh HBO: Mr. Peabody & Sherman dalam kisah mereka berpetualang menjelajah lintas ruang dan waktu. Artikel yang berisi penjelasan yang cukup lengkap dan ilmiah mengenai Wormhole bisa Anda baca di beranda Scientific American
- 5Reuni (re – unity: bersatu kembali) adalah sebuah pertemuan kembali. Reuni yang dimaksud di sini adalah istilah Reuni Kelas (Wikipedia) di mana peserta reuni mengingat kembali atau bernostalgia tentang hari-hari sekolah mereka dulu; dengan detail mengingat teman-teman yang suka usil, dan bercerita tentang apa yang terjadi dengan masing-masing mereka sejak berpisah dan terpencar-pencar. Saya sendiri lebih tertarik ke refleksi Ade Sulaeman tentang reuni di Intisari Online berjudul: Reuni Bukan Sekadar Ajang Kumpul.
- 6Divergent adalah film yang bercerita tentang dunia manusia di suatu masa. Di sana, pengelompokkan masyarakat dibagi ke dalam lima jenis berdasarkan kharasteristik orang-orangnya. Kelima kategori tersebut adalah Candor (jujur), Erudite (genius), Amity (suka damai), Dauntless (pemberani) dan Abnegation (penolong tanpa pamrih). “Divergent” yang menjadi judul film itu adalah jenis yang tidak termasuk ke dalam kelima jenis kategori karakteristik yang disebut sebelumnya karena memiliki berbagai macam kepribadian yang menonjol dalam dirinya. Ada banyak pembelajaran menarik yang bisa dipetik dari film itu. Anda mungkin bisa memulainya dari kutipan-kutipan yang diambil saat sang pemeran utama, Tris (Shailene Woodley) akhirnya memilih untuk masuk ke golongan Dautless.
- 7Indah Rencanamu. Saya sedikit terkejut ketika membolak-balik Google dan menemukan bahwa lagu rohani ini ternyata dipopulerkan oleh Meriam Bellina, seorang artis Indonesia kawakan yang wajahnya kerap menghiasi layar kaca Indonesia, dan kebanyakan mengambil peran antagonis. Ah, ya. Itunes masih menyimpan lagu itu dengan cover lamanya, wajah meriam Bellina dalam balutan baju cokelat yang manis.