Lawe-patahtumbuhhilangberganti

Lawe: benang. Awalnya ia dibabtis dengan nama itu. Patah Tumbuh Hilang Berganti, jejak sejarah untuk sebuah nama dan pemaknaan Langkas Haeng Ntala, Uwa Haeng Wulang di lingko dunia maya.

“Yen satriya Tanah Jawi, kuna-kuna kang ginilut tri prakara: Lila lamun, Kelangan nora gegetun, Trima yen ketaman” – pepatah yang seorang sahabat.

Lawe Itu Tumbuh

Besar dan tumbuh di era 90-an. Saat wartel (warung telepon) masih menjadi tempat paling lama untuk berbincang ketimbang beranda rumah calon mertua. Saat wesel adalah Kabar Sukacita di awal bulan bagi mahasiswa di tanah rantau.

Saat surat dan merpati Pos Indonesia adalah penyambung lidah dan pengantar isi hati antar kampung, antar pulau, dan lintas kode pos. Saat RPD (Radio Pemerintah Daerah – Manggarai) dan TVRI adalah kotak kecil di sudut rumah yang menjadi magnet penghibur saban sore di keremangan lampu minyak atau kemilau terang lampu gas kampung-kampung di puncak bukit.

Ah.. saat-saat itu, jika dihadirkan lagi dalam cerita-cerita nostalgia saat berkumpul, seakan dongeng tentang Eden masa lalu yang takkan pernah bisa dikembalikan lagi.

Milenium baru memang benar-benar menjadi gerbang baru. Itu kualami saat menjejakkan kaki di tanah Jawa. Berkenalan dengan handphone dan radio FM seakan membawa cahaya pencerahan berupa curahan informasi tanpa henti setiap hari.

Pertemanan di ruang-ruang chatting yang berlanjut dengan perbincangan akrab di Yahoo Messenger serta pengetahuan yang tak berbatas dari Google dan Internet Search Provider lainnya membuat dunia serasa sempit sekaligus terhubung dalam cara yang belum bisa terbahasakan oleh latar 90-an.

Seorang kawan kemudian mempertemukanku dengan Friendster, yang akhirnya membuatku terjangkit dengan wabah yang lebih hebat dari cacar air; narsisme dan kegelisahan tanpa henti untuk mengetahui ‘komentar atas status’ dan ‘siapa yang melihat profil anda’.

Awal Duaribuan memang tahun-tahun yang cukup berat bagi remaja kelahiran Sembilan-belas-delapan-puluhan: ditarik dari hangat keakraban di ruang-ruang publik yang nyata ke pertemanan tanpa kontak mata lewat jaringan mahaluas bernama dunia maya.

Sedih juga rasanya bila mengingat bagaimana di masa-masa itu, keinginan untuk menyentuh keyboard sanggup mengalahkan nafsu untuk memegang sendok dan garpu saat lapar menjelang; uang saku lebih banyak untuk warnet (warung internet) ketimbang untuk warteg (warung tegal).

Lawe lahir di masa-masa itu; bersamaan dengan geliat promosi para sahabat tentang keampuhan media sosial yang baru: Facebook.

Bermodalkan pengetahuan yang minim mengenai cara membuat sebuah blog dan cara memoderatori sebuah grup Facebook, Lawe dibuat dengan latar kegembiraan bahwa internet membuat kita, sesama perantau dari Manggarai-Flores, bisa saling meneguhkan dan berbagi cerita; bahwa kita tak sendirian di pulau-yang-bukan-halaman-kampung-kita.

Lawe Itu Hilang

Belakangan, setelah Lawe tak lagi hidup, disadari bahwa salah satu alasan mengapa Lawe tak mampu bertahan adalah karena tulisan-tulisan yang dibagikan di dalamnya masih berlatar 90-an: gaya penulisan surat yang terkesan kelewat baku dan puitis, ketakterusterangan dalam penyampaian maksud sekaligus keramahan etis dunia timur yang masih enggan mengkritisi apa yang dilakukan (dengan kurang sesuai) oleh para tetua.

Di 2009, Lawe akhirnya mati. Saat itu, akun Facebook (yang lama) di-hack oleh seseorang dari benua tetangga yang seminggu sebelumnya dibantai dalam pertempuran antar-geng di Mafia Wars, sebuah game yang ada dalam daftar menu aplikasi Facebook. Selain itu, beranda Blogger pun mulai jarang dikunjungi.

Blogspot dirasa terlalu rumit, karena pada saat yang sama, WordPress, Multiplay, Kompasiana, Svhoong, dan Pepperonity menawarkan kemudahan yang mencengangkan. Ide tentang mewujudkan keakraban antar sesama perantau yang saat itu mulai menemukan bentuknya, akhirnya harus turut menguap karena rumput di halaman tetangga lebih hijau.

2010. Ada kemajuan yang berarti. Idealisme tentang ‘persatuan perantau’ menemukan pengungkapannya dalam bentuk yang berbeda: berkembangnya kelompok-kelompok di dunia nyata dalam pergaulan dengan para sahabat di Jakarta.

FKM3 (Forum Komunikasi Mahasiswa Muda Manggarai), FORMATTA (Forum Manggarai Timur jakarta), FORMADDA (Forum Pemuda/i NTT Penggerak Keadilan dan Perdamaian), KPM (Kelompok Peduli Manggarai), dan grup-grup kecil lainnya pada saat itu tengah ramai-ramainya muncul bersamaan dengan terangkatnya isu seputar persoalan tambang di Manggarai khususnya dan NTT pada umumnya.

Untuk sesaat, ide itu hidup di dalam diskusi-diskusi yang hangat dan panas bersama para sahabat yang peduli dengan kampung halamannya. Lawe pun hanya tinggal nama di Google ketika mengetikkan kata ‘Thundang’: sebuah blog kecil tak terurus, sepi penanggap, dan seakan menjadi ‘tua sendiri’ karena tak pernah lagi di-update.

Di pertengahan 2011, sempat terbersit keinginan untuk menghidukan kembali Lawe dengan nafas yang berbeda: menjadikannya sebuah blog pribadi. Tulisan-tulisan yang lama akhirnya dihapus, semuanya.

Beberapa catatan yang pernah mendapat tempat di hati teman-teman Facebook akhirnya dipindahkan ke Lawe. Untuk sesaat, ada perasaan aneh yang tak terbahasakan hingga kini: bangga karena punya blog pribadi sekaligus sedih pada saat yang sama karena tahu bahwa tanpa idealisme yang jelas, blog ini takkan berumur panjang dan akan bernasib lebih buruk dari tahun-tahun sebelumnya.

Benar saja. Di 2012, tak terjadi apa-apa.

Lawe Itu Berganti

Ada kegemaran baru yang belakangan ini serius digeluti. Insomnia adalah kutukan kesepian sekaligus padepokan kembaran Novisiat Trasitus. ‘Kegalauan’ mencari cara untuk  mengusir kesepian menjelang subuh, membuka sebuah jalan baru: mempelajari dasar-dasar pembuatan Blog dan Website. Bersamaan dengan itu, penyakit lama itu akhirnya kambuh: lebih memilih keyboard ketimbang sendok dan dan garpu, lebih banyak berbelanja paket modem ketimbang teman nasi putih.

Kurusnya badan memang menjadi konsekuensi, tetapi itu tidak sebanding dengan asketisme intelektual yang didapat dari malam-malam yang dihabiskan dengan mengunjungi berbagai situs, grup, dan blog yang menawarkan cara paling ampuh tentang bagaimana mengelola sebuah web atau blog pribadi.

Setelah bekal terasa cukup, beranda Lawe kukunjungi lagi. Perasaan sedih, sakit hati, serta penyesalan diri yang mendalam setelah miris melihat keadaan Lawe saat itu, serentak membangkitkan kembali niat yang dulu pernah melatari kelahirannya. “Lawe akan kubuat besar, lagi”, begitulah janji yang waktu itu terucap. Tulisan-tulisan lama kemudian dipoles, Templatenya diganti, dan … “Sepertinya nama lawe.blogspot.com perlu diganti”, begitu gumam yang tiba-tiba terlontar.

Lawe kemudian dibabtis dengan nama baru:  Nara Reba. Lengkapnya, Nara Reba Manggarai.

Artikel SebelumnyaMempertanyakan Identitas: Latar Cerita Nara Reba
Artikel BerikutnyaNara Reba Resmi Diuncurkan