Hari itu termasuk satu dari tujuh hari istimewa dalam hidup: tak bisa tidur! Itu susahnya kalau sudah pernah punya masa-masa insomnia dalam hidup: jauh setelah ‘katanya’ sembuh, naluri ‘kalong’ itu menyembul lagi ke permukaan. Bagi beberapa orang, itu musibah. Awalnya, saya termasuk beberapa orang itu, menganggap bahwa tak bisa tidur sampai jam sembilan pagi adalah musibah.
Sekarang tidak lagi. Saat insomnia kembali muncul, itu adalah masa-masa istimewa: bisa baca sampai pagi, bisa Google sampai pagi, bisa bioskop dvd bajakan sampai pagi, bisa menulis sampai pagi, bisa keliling Jakarta sampai pagi, atau kadang hanya mengulang kenangan sampai pagi. Hari itu, hari ulang tahun, pas kena hari istimewa; tidak bisa tidur sampai pagi. Saat buka browser, buka home page Nara Reba, lalu buka Google, akhirnya kaget sendiri. Google tampak bergambar lilin menyala beserta sederet kue warna-warni dengan ‘Image Title’: Tabe Mose Lewe, Armin. Waahh??!!
Kisah-kisah ini adalah renungan di hari itu: refleksi kecil di malam insomnia hari uang tahun yang saya tempatkan dalam kelompok Edisi Tabe Mose Lewe. Ini adalah cerita pertama, cerita tentang Anak Papa Ngasang.
Anak Papa Ngasang, Tabe Mose Lewe #1
Silahkan Googling dan cari, pasti banyak yang bilang bahwa anak sulung terlahir dengan kepercayaan diri yang khas. Ini hanya sebuah refleksi kecil: rasa-rasanya anggapan yang sama juga berlaku di Manggarai. Anak Papa Ngasang, itu istilah yang samar saya dengar diberikan untuk anak sulung: anak yang membawa nama ayahnya (semoga terjemahannya benar begitu). Si sulung, apalagi kalau kebetulan dia laki-laki, akan dididik dengan perlakuan lebih: lebih keras, lebih disiplin, lebih bertanggungjawab, lebih mau mengalah, dan seabrek kelebihan lainnya. Tak jarang, kata ‘lebih’ itu berarti mendapat lidi, rotan, flungku, tempeleng, atau minimal berlutut lebih lama dari saudara-saudaranya yang lain.
Kenapa tadinya saya bilang, “semoga terjemahannya benar”? Ya, karena di Langgo, kami punya pengecualian. Lazimnya, saat disebut anak papa ngasang, itu sekaligus berarti bahwa orang tua si anak akan dipanggil dengan nama yang sama. Jika anak sulungnya Sintus, bapa dan mamanya akan dipanggil Ema’d Sintus (Bapa Sintus) dan Ende’d Sintus (Mama Sintus) atau bisa juga Ema’d Lalong (Bapa Lalong) dan Ende’d Lalong (Mama Lalong). Kalau anak sulungnya Greis, bapa dan mamanya akan dipanggil dengan Ema’d Greis (Bapa Greis) dan Ende’d Greis (Mama Greis), atau kadang Ema’d Molas (Bapa Molas) dan Ende’d Molas (Mama Molas). Meski Sintus atau Greis punya tiga atau bahkan sebelas adik, kedua orang tuanya hanya dipanggil dengan nama mereka, karena merekalah si sulung, si anak papa ngasang. Tetapi, sekali lagi, di Langgo kami punya pengecualian.
Bumi Surga Langgo – Ruteng hanya boleh kami alami sebentar: kami hanya “boleh” tinggal di rumah sampai tamat es de. Setelah itu, kami berempat mendapat perlakuan yang sama meski tempatnya berbeda: dididik di “rumah yang lain”, asrama. Dari situlah kisah ini bermula, kisah tentang ngasang anak de papa menjadi anak papa ngasang. Langgo adalah kota satelit, salah satu wilayah penyangga utama Kota Dingin Ruteng. Perkembangannya begitu cepat, apalagi semenjak Labuan Bajo dan Borong menjadi ibukota kabupaten. Tentangga-tetangga lama mulai pindah ke kedua ibukota kabupaten baru. Mereka diganti dengan tetangga-tetangga baru yang kebanyakan sifatnya “musiman”: kontrak satu atau dua tahun, dan lantas pindah ke tempat lain.
Tetagga-tetangga lama, yang berstatus pemilik rumah tetapi kini tinggal di kota lain, masih memanggil Bapa dan Mama dengan panggilan Bapa Ino dan Mama Ino (lihat kisah Nara Reba Behind The Scene). Tetapi, ketika saya beranjak dari Langgo selepas kelas enam es de dan jarang pulang ke rumah, tetangga-tetangga baru menyangka bahwa Max-lah anak yang sulung. Jadilah demikian, Max dibabtis menjadi anak papa ngasang: Bapa dan Mama dipanggil dengan Bapa Milian dan Mama Milian (Milian, nama kecil Max). Cerita itu terulang saat Max beranjak dari rumah setamat es de. Sekarang giliran Beng; Bapa dan Mama dipanggil dengan nama Bapa Benya dan Mama Benya (Benya, nama kecil Beng), karena para tetangga baru menyangka bahwa Beng-lah si anak sulung. Di beberapa tahun terakhir, Gonza yang kebagian jatah dibabtis sebagai anak papa ngasang. Selepas Beng pergi, di lingkungan kompleks, Bapa dan Mama dikenal dengan nama Bapa Oncak dan Mama Oncak (Oncak, nama kecil Gonza).
Lucunya, ketika saya atau Max kebetulan pulang libur, anak-anak para tetangga yang baru menyangka bahwa kami ini adalah Om-nya Oncak. Hahahaha…