“Gods of Egypt” adalah review film yang pertama di narareba.com. Meski mengusung judul tentang dewa-dewi Mesir, tontonan yang ada sejak awal hingga akhir film ini adalah bagaimana seorang dewa justru belajar dari kesederhanaan dan kesahajaan sepasang manusia yang jatuh cinta. Kira-kira begitu.

"Gods of Egypt" Dalam Review Seorang Perantau

Review Film “Gods of Egypt”

Sekali lagi, sejujurnya Gods of Egypt adalah review film yang pertama di blog ini. Agak sulit, memang, saat harus menulis ulasan tentang sesuatu, tentang sebuah film, jika sebelumnya kadung terbiasa menulis curhatan. Jadinya ya, begitulah. Bisa dipastikan tulisan ini akan lebih beraroma curhat ketimbang review. Tetapi, selalu ada yang pertama untuk segala sesuatu, kan? Pun jika gagal, atas nama SEO, setidaknya bisa masuk halaman satu. LOL..

Tenang. Sebagai langkah antisipatif agar tak terjebak curhat kelewat lama, tulisan ini dipecah dan dibagi ke dalam lima judul kecil yang sebelumnya diberi deskripsi singkat. Jika memang terburu-buru, silahkan langsung menuju dua judul terakhir tanpa harus kehilangan jalinan review ala Nara Reba Manggarai. Tetapi jika sedang santai, sedang tidak dikejar-kejar kuota, silahkan ikuti alurnya: review beraroma curhat ala @narareba:
1. Latar Cerita Seorang Penonton
Curhatan tentang latar cerita di balik terpilihnya film Gods of Egypt sebagai salah satu film yang dipilih untuk ditonton saat libur lebaran 2016. Film ini telah dirilis sejak Februari 2016, tetapi kenapa baru ditonton saat libur lebaran, empat bulan setelahnya?
2. Dalam Review Seorang Perantau
Bagian penting yang menjelaskan judul besar tulisan ini. Bagaimana film dengan konsep mitologi Mesir kuno ini dilihat dari kacamata seorang perantau Manggarai – Flores? Lebih dari itu, kenapa kisah tentang dewa-dewi Mesir, justru difilmkan di dan oleh orang-orang United States Australia?
3. Sisi Manusia Seorang Dewa
Judulnya jelas membingungkan: sisi manusia seorang dewa. Bagaimana bisa ‘dewa’ dijelaskan dengan kata ‘seorang’? Justru itulah yang menarik dari tokoh dewa Horus yang diperankan oleh Nikolaj Coster-Waldau. Perlu diingat, Nikolaj juga membintangi “Game of Thrones” dan tercatat sebagai salah satu tokoh antagonis (?) dari keluarga Lannister yang ‘masih hidup’ hingga episode terakhir.
4. Sinopsis Film “Gods of Egypt”
Seorang teman, sesama penggemar film pernah mewanti-wanti, janganlah mengirim ‘spoiler’ jika ingin menawarkan sebuah film untuk ditonton. Itu hanya akan mengurangi rasa ketertarikan dan penasaran akan klimaks di akhir cerita. Jadi, ini benar-benar sinopsis yang cacat: pengantar singkat dalam ringkasan.
5. Akhir Catatan Review Narareba
Bagian penutup ini berisi kesimpulan sederhana, catatan reflektif setelah menonton. Tentu saja mengangkut kesimpulan, kenapa film ini layak (atau tak layak) ditonton. Sedikit bocoran, film ini memang layak ditonton, karena …

Sebelum diteruskan, mari kita intip Gods of Egypt Official Trailer #1:

Latar Cerita Seorang Penonton

Poin keempat dari pengumuman dalam rangka menyambut Hari Raya idul Fitri 1437 H bunyinya: “kantor aktif kembali melakukan operasional tanggal 11 Juli 2016”. Astaga! Itu artinya liburan seminggu penuh!! Setelah rencana-rencana lain gugur dari planning liburan, yang tersisa cuma dua backup-an abadi: instal lalu tuntaskan offline strategic game terbaru dan habiskan daftar film keluaran 2016 yang belum ditonton.

Game terinstal dan terselesaikan dengan sukses setelah seharian penuh mengutak-atik video card laptop yang (ternyata) error setelah di-upgrade ke Windows10. Sedangkan film, wah, ada banyak. Lusinan film dari HBO dan Fox Movies habis dilahap bersama berbutir-butir kacang telur dan bergelas-gelas kopi. Sayangnya, HBO versi UseeTV tak lagi menyediakan fitur recording (playback); banyak film yang terlewatkan. Pilihan pun jatuh ke layarkaca21.tv. Selain karena stok filmnya selalu update, tampilan UI dan UX-nya sangat istimewa.[1]

Lagi-lagi, sayang. Sebagian besar film 2016 yang rating IMDB-nya tinggi dan berkualitas HD sudah habis ditonton. Dasar maniak! Pilihan yang tersisa cuma film-film yang ratingnya rendah, atau yang masih berkualitas CAM.[2] Karena memang cuma itu saja yang tersisa, film-film (yang dinilai) jelek itupun akhirnya dibuka trailernya satu demi satu untuk mengintip sekilas, apakah layak ditonton atau tidak. Yah, liburan bukan untuk diisi film-film kacangan berdarah recycle bin, bukan? Rugi waktu dan sayang kuota.

Film “Gods of Egypt” ada di sana, terjerembab jauh di dasar saat men-sortir film 2016 dari yang ratingnya bagus sampai yang jelek. Ada beberapa alasan, kenapa film berdurasi 127 menit itu tidak di-klik untuk ditonton sejak lama, padahal telah dirilis sejak Februari 2016. Selain ratingnya rendah, trailernya pun terkesan kelewat pamer efek CGI. Entah kenapa, efek setelah menonton trailernya malah terkesan seperti rasa muak setelah menghabiskan waktu menonton “The 5th Wave”, salah satu film gagal-klimaks yang juga dirilis di tahun ini.

Oh iya, review dari para kritikus untuk “Gods of Egypt” yang menghabiskan dana produksi 140 juta Dollar itu pun terkesan kurang enak dibaca. Sebut saja Rotten Tomatoes yang menyematkan kritik ‘kurang-ajar’ untuk film yang naskahnya ditulis oleh Matt Sazama dan Burk Sharpless ini: “Look on Gods of Egypt, ye filmgoers, and despair! Nothing beside remains. Round the decay of this colossal wreck, boundless and bare. The lone and level sands stretch far away.[3]

Kenapa film ini akhirnya dipilih juga? Itu tidak terlepas dari jasa Russell Crowe dan filmnya, “The Water Diviner” yang pada malam sebelumnya ditayangkan di HBO. Ada hubungan antara “The Water Diviner” (2014) dengan “Gods of Egypt” (2016)? Australia. Meski review tentang film Russel Crowe jauh mengungguli karya Alex Proyas itu, tetapi keduanya punya aroma yang sama: Australia. Menurut rumor yang beredar, sekali film Australia pernah muncul di trending topic, entah itu bagus atau jelek, film itu layak untuk ditonton. Dan, menurut catatan IMDB, “Gods of Egypt” diproduksi oleh studio yang punya nama besar: Fox Studios, Moore Park, Sydney, New South Wales, Australia.[4]

Movie Review - Gods of Egypt

Dalam Review Seorang Perantau

Jika rasa penasaran akan sesuatu dibagi mejadi enambelas bagian, rasa yang menguar saat meng-klik “Gods of Egypt” ke tampilan 720 HD cuma bermodal 1/16. Limabelas bagian sisanya kelewat lenyap termakan bujukan review tentang betapa jeleknya film itu. Tetapi, potongan demi potongan perlahan utuh tersambung kembali sejalan dengan alur yang mulai terbangun menit demi menit. Dua menit pertama mirip-mirip persis dengan film ber-genre fantasi berjudul “Stardust” (2007), awal kisah tentang sejarah imajiner yang dibangun oleh seorang narator bersuara pendongeng.

Masih ingat, kata pengantar sang narator di film “Stardust”? Kurang lebih seperti ini: “A philosopher once said Are we human because we gaze at the stars, or do we gaze at them because we are human? Pointless, really. Do the stars gaze back? Now, that’s a question.” Pertanyaan filosofis itu pasti akan menggelitik sesiapapun yang pernah duduk di bangku kuliah filsafat: “Apakah kita manusia karena kita memandang bintang, ataukah kita memandang bintang karena kita manusia?”

“Gods of Egypt” juga punya narator yang serupa dengan pengantar kisah yang lain: “Sebelum sejarah dimulai, Mesir adalah asal-muasal segala kehidupan, surga yang diciptakan dewa-dewi. Mereka kemudian memutuskan untuk tinggal di sana (Mesir) bersama makhluk ciptaannya.” Apa yang menarik dari pengantar awal itu? Kira-kira seperti ini: mungkin film ini bisa menawarkan, dalam cara yang paling ringkas dan sederhana, asal-muasal tatanan kehidupan dalam mitologi Mesir kuno. Termasuk juga, seperti apa jadinya jika makhluk-makhluk ilahi (gods) benar-benar ‘tinggal di antara kita’?[5]

Sejujurnya, narasi itu perlahan-lahan membangkitkan keingintahuan yang lebih sekaligus memunculkan pertanyaan yang mungkin tak perlu dibahas di sini: bagaimana jika Mesir adalah Manggarai dan Mori Kraeng, Wujud Tertinggi bagi orang Manggarai, juga benar-benar ‘tinggal di antara kita’? Pertanyaan itu kelewat kurang ajar, mungkin. Persis di situlah rasa salut dan hormat patut diberikan pada Alex Proyas sebagai sutradara yang sanggup mengemas kisah ini menjadi apik tanpa terkesan murahan karena efek CGI yang berlebihan.[6]

Alex Proyas, bisa dibilang, adalah seorang perantau di Australia. Ia berlatar keluarga Mesir keturunan Yunani yang pindah ke Australia. Sekali lagi, bisa dibilang, film tentang Mesir yang minus aktor Mesir tetapi berhasil membawa latar tentang dunia Mesir kuno ke alam visual adalah kesuksesan tersendiri untuknya. Ia berhasil berbagi di layar kaca, apa yang menjadi dongeng masa kecilnya. Terserah apapun kata para kritikus tentang itu. Kira-kira begitu.

Tentu saja, akan sangat tidak adil membandingkan untaian mitologi Mesir yang kaya dengan 127 menit-nya Alex Proyas. Ibarat membandingkan seposting poster kotak instagram tentang wisata alam dengan alamnya itu sendiri. Akan sangat tidak adil. Lagi pula, tanpa bermaksud menyandingkan kisah masa kecil di Manggarai dengan dongeng yang dihidupkan Alex Proyas, tentu akan tidak mudah jika harus membuat sebuah film tentang Mori Kraeng, pun jika memilih ‘sutradara’ sebagai profesi di Ibukota.

Satu jempol untuk Alex dan para crew film yang menjadikan kisah para dewa-dewi itu hidup. Jempol untuk satu lagi perbendaharaan imajinasi yang berhasil dibawa ke layar kaca demi memenuhi dahaga para penikmat dongeng peradaban dunia lama. Meski ya, untuk budget sebesar 140 juta Dollar, semestinya banyak hal yang bisa dipoles ‘lebih’ baik lagi. Animasinya, misalnya, dibuat menjadi lebih nyata, lebih natural. Film-film dari negeri Tiongkok telah lama melakukan itu dengan baik. Beberapa di antaranya malah sangat baik, bahkan.

Coba kita intip lagi Gods of Egypt Official Trailer #2:

Sisi Manusia Seorang Dewa

Dengan perumpamaan seperti apa “Gods of Egypt” dianggap mengulas sisi manusia seorang dewa? Cukup sulit, memang. Ada banyak dewa dan dewi Mesir yang disinggung dalam film itu. ‘Disinggung’ karena mereka seakan menjadi latar cerita tentang para dewa dan dewi utama, diantaranya: Horus (Nikolaj Coster-Waldau), Set (Gerard Butler), Ra (Geoffrey Rush), Hathor (Elodie Yung), Isis (Rachael Blake), Osiris (Bryan Brown), Anubis (Goran D. Kleut), dan Thoth (Chadwick Boseman).[7]

Pertanyaan yang muncul setelah menonton (bahkan hanya separuh) film ini adalah, apa beda antara dewa dan manusia selain bahwa mereka abadi dan punya kekuatan super? Tidak ada. Mereka juga beranak-pinak. Mereka juga punya emosi. Mereka juga bisa galau. Mereka punya sifat ambisius atau bahkan pemalas-tingkat-dewa. Mereka bahkan mengenal fase tua dan mati. Tidak ada dewanya eh, bedanya dengan manusia.

Jadi, kalau disederhanakan, jika minus penggambaran akan kekuatan ilahi dalam balutan efek animasi, film ini tidak ada bedanya dengan film tentang superhero ala manusia. Dari sudut pandang itu, film “Superman”, “Batman”, “Spiderman”, atau bahkan “Deadpool” akan lebih tidak-buang-waktu-percuma. Tetapi, mari kita kembali ke pertanyaan tadi: dengan perumpamaan seperti apa “Gods of Egypt” dianggap mengulas sisi manusia seorang dewa?

Mari kita gunakan film lain sebagai perumpamaan. Sebut saja, “Deadpool”, film superhero kocak yang lahir di tahun yang sama. Apa yang dibutuhkan seorang karakter film untuk menjadi superhero? Tragedi dan tokoh antagonis di awal film, kata Deadpool (Ryan Reynolds).[8] Semua film superhero punya itu, begitupun “Gods of Egypt”. Ayah dan ibu Horus, sang dewa yang menjadi pusat cerita, dibunuh oleh Set, sang dewa yang menjadi tokoh antagonis. Set bahkan mencungkil mata Horus dan membuatnya menjadi dewa-yang-tidak-berdaya.

Setiap Superhero pasti akan punya rekan-seperjuangan yang akan membantunya mendapatkan dan melaksanakan tugas ke-superhero-annya. Deadpool punya Weasel (T.J. Miller) dan si cantik Vanessa (Morena Baccarin). Di “Gods of Egypt”, Horus juga punya Bek (Brenton Thwaites) dan si kemayu Zaya (Courtney Eaton). Poinnya sama, setiap superhero hanya akan bisa mewujudkan potensinya jika dibantu oleh manusia biasa yang berkarakter luar biasa.

Lalu, mengapa film “Deadpool” sangat tepat menggambarkan perumpamaan tentang sisi humanis dari seorang dewa dalam “Gods of Egypt”? Jawabannya ada dalam petikan wejangan bijak yang diterima Deadpool dari Colossus, si manusia baja: “Four or five moments – that’s all it takes to become a hero. Everyone thinks it’s a full-time job. Wake up a hero. Brush your teeth a hero. Go to work a hero. Not true. Over a lifetime there are only four or five moments that really matter. Moments when you’re offered a choice to make a sacrifice, conquer a flaw, save a friend – spare an enemy. In these moments everything else falls away…” (Ini review Deadpool atau “Gods of Egypt” sih?).

Singkat kata singkat cerita, dalam “Gods of Egypt”, kita tidak akan banyak belajar tentang para dewa, atau bagaimana caranya agar bisa menjadi dewa. Tontonan yang ada sejak awal hingga akhir kisah adalah, bagaimana seorang dewa justru belajar dari kesederhanaan dan kesahajaan sepasang manusia yang sedang jatuh cinta. Kira-kira begitu.

Review perbandingan box office "Deadpool" dan "Gods of Egypt"

Sinopsis Film “Gods of Egypt”

Tanpa berniat memajang spoiler, beginilah kira-kira Dewa-dewi Mesir (“Gods of Egypt”) dibahasakan dalam dua genggaman paragraf. “Dewa-dewi Mesir” adalah kisah tentang Horus (sang Dewa Langit) yang bersahabat dengan Bek (manusia/mortal) untuk merebut kembali kekuasaan yang menjadi hak warisnya, setalah sebelumnya dirampas dengan kejam oleh Set (sang Dewa Gurun), pamannya sendiri. Alasan Set sang penguasa Gurun merampas tahta yang seharusnya dialihwariskan kepada Horus adalah rasa cemburu akan kasih sayang Ra (sang Dewa Matahari) yang menyerahkan tampuk pemerintahan Mesir yang subur pada saudaranya, Osiris, dewa yang menjadi ayah Horus. Set ingin menguasai semuanya, bahkan demi ambisinya ia rela membunuh siapapun, tak terkecuali Ra, ayahnya.

Horus yang sebelumnya bergelimang kejayaan kerajaan dan karunia kedewaan kini harus menghadapi tantangan. Ayahnya, Osiris dibunuh Set, sesaat sebelum mengukuhkannya sebagai raja pengganti. Tahta yang semula menjadi haknya pun dirampas oleh Set. Sang penguasa gurun bahkan mencungkil kedua biji matanya dan mengasingkannya ke tempat terpencil. Bukan hanya Horus yang menderita akibat ambisi Set. Ra dan dewa-dewi Mesir lainnya pun dipaksa secara kejam oleh Set untuk tunduk di pada keinginannya. Mesir dan kehidupan yang ada di dalamnya berada di ambang kehancuran. Bagaimana kelanjutan kisahnya? Bagaimana Horus mampu bangkit dan kembali mengembalikan Mesir yang damai? bla . bla .. bla…[9]

Akhir Catatan Review Narareba

Film ini layak ditonton karena memang cukup bagus, apalagi jika memang kehabisan stok bahan dongengan. Abaikan saja animasinya yang kurang rapi, khas film-film Sci-Fi yang bertabur efek tapi minim editan. Selain itu, jangan berharap bisa mendapatkan pelajaran sejarah di dalamnya. Ini murni film animasi yang meminjam latar Mesir kuno. Jadi, jangan pernah menyamakannya dengan “Apocalypto” (2006), “10.000 BC” (2008), atau bahkan “The Physician” (2013). Jangan.

Petiklah makna humanis di dalamnya, juga ciutan tentang dunia akhir zaman ala peradaban-peradaban tua. Lebih dari itu, wariskan nilai yang sama pada generasi berikutnya, bahwa ada kisah yang sama yang dituturkan dari masa ke masa dalam sejarah peradaban manusia. Kisah yang mengandung pesan agung, bahwa figur pemimpin bukan semata sosok yang memiliki kewenangan untuk menguasai, tetapi ia yang mau mengorbankan segenap miliknya untuk melindungi orang-orang yang dipimpinnya, yang dicintainya. Kira-kira, itu saja dulu.

Tabe, @narareba.

Horus (Dewa Langit) dan Bek (Manusia/mortal)

[1] Tampilan (desain) sebuah website pasti akan selalu berkaitan dengan UI dan UX. UI (User Interface) adalah bagaimana sebuah website terlihat, sedangkan UX (User Experience) pada dasarnya adalah bagaimana “memahami pengunjung website”. Singkatnya, dari sebuah website, UI is what you see and UX is what you feel. Sejauh ini, dari sekian penyedia film gratisan ber-subtitle Indonesia, UI dan UX layarkaca21.tv masih tetap unggul (Google pencarian pun mengakuinya) dibanding website lain.

[2] Film dengan format CAM berarti videonya (gambar dan suara) berasal dari rekaman handycam di bioskop yang direkam secara diam-diam. Bagi yang sering mendownload atau menonton film di internet pasti akrab dengan sebangsa CAM, semisal DVDRip, BDRip, BRRip, DVDScr, TS, XviD, HDTV, R5 LINE, dan sejenisnya. Arti dari istilah-istilah itu dijelaskan dengan sangat baik di blog Mas Ari Sudewa.

[3] Tak hanya Rotten Tomatoes yang memberikan kritikan pedas. Coba tengok apa kata Empire Online tentang film ini: “This is the Dolly Parton of movies, without any of the wit.Ufh!!

[4] Menurut catatan IMDB, ada beberapa film hits yang pernah diproduksi di Fox Studios, Moore Park, Sydney, New South Wales, Australia ini, di antaranya “Mission: Impossible II” (2000), “X-Men Origins: Wolverine” (2009), dan “The Great Gatsby” (2013).

[5] Legitimasi raja-raja dunia banyak didasarkan pada istilah “keturunan dewa”, atau dalam bahasa lain “berdarah biru”. Mesir pun, sejak awal punya klaim itu, bahwa Firaun (Pharaoh) adalah keturunan langsung dari dewa. Apa yang diceritakan oleh sang narator sebenenarnya membuka kenangan lama akan ingatan tentang sejarah Mesir: “In official writings, pharaohs are said to be divine, and they are constantly depicted in the company of the deities of the pantheon. Each pharaoh and his predecessors were considered the successors of the gods who had ruled Egypt in mythic prehistory.

[6] Bahkan di Nara Reba Manggarai, tema tentang Mori Kraeng jarang dibahas. Ya, beberapa kali memang pernah disebut, semisal di sepelintir catatan kaki pada cerita tentang “Esok Dalam Gelas Kopi

[7] Daftar lengkap para pemain dan crew film Lord of Egypt dapat dilihat di situs IMDB.

[8] Kenapa “Deadpool” yang sengaja diambil sebagai pembanding untuk “Gods of Egypt”? Selain karena kemiripan yang sudah dijelaskan di atas, keduanya adalah film yang lahir di bulan yang sama, Februari 2016. Uniknya, meski menampilkan sosok karakter superhero yang kelewat kurang ajar untuk ditonton oleh pemirsa yang belum tujuhbelasan, secara minat dan angka penjualan, “Deadpool” jauh mengungguli “Gods of Egypt”. Box Office Mojjo mencatat, besar keuntungan penjualan tiket yang diperoleh “Deadpool’ pada Februari 2016 senilai $363,070,709. Itu membuatnya menduduki puncak tangga film terlaris di bulan Februari. “Gods of Egypt” tertinggal tiga tingkat di bawahnya, dengan angka penjualan $31,153,464, membuatnya seakan tak ada apa-apanya dibanding “Deadpool”.

[9] Tentu saja, ulasan paling lengkap tentang sinopsis dan latar cerita serta latar panggung “Gods of Egypt” ada di Wikipedia. Jika masih penasaran dengan kelanjutannya, silahkan menuju link Wikipedia Gods of Egypt.

Artikel SebelumnyaTombo Nipi – Senandung Perantau Manggarai
Artikel BerikutnyaOrang Jelek Juga Bisa Menyanyi, Sesekali