Apakah mereka ramah? Apakah mereka pemarah? Apakah mereka mau cari untungnya saja? Atau, apakah mereka benar-benar tulus?
Membuat penilaian seperti itu, totem pro parte, memang tidaklah fair.Tetapi setidaknya, itu bisa dijadikan pegangan saat memasuki wilayah baru. Pegangan untuk waspada sekaligus sadar diri di tanah orang.
Karena pada dasarnya, sebagai manusia, kita akan takut bersentuhan dengan hal baru, karena ketidaktahuan.
“There is nothing that man fears more than the touch of the unknown,” kalau kata Elias Canetti.
Makanya kita butuh framing, setidaknya sedikit pegangan, tentang hal baru itu. Untuk waspada. Untuk mawas diri. Untuk tidak takut, lagi.
Dan, ketika memasuki bandara, lalu disambut dengan warna-warni pink yang masih bertalian dengan hiasan lampu lampion, saya jadi tenang. Dengan begitu, ada sedikit gambaran.
Bahwa di Bali, meski ada ‘mayoritas’ dan ada ‘minoritas’, mereka tidak melarang Imlek juga Valentine. Mungkin itu kenapa Bali akan selalu jadi bandara (dan daerah wisata) yang sungguh-sungguh bercita-rasa Internasional. Yang terbuka dan menerima semua yang datang tanpa harus kehilangan identitas dan harga diri.
Dan, mereka membungkus itu dengan marketing yang bagus. Dengan hiasan rangkaian bunga pink berbentuk hati beberapa meter dari pintu kedatangan. Juga satu pot besar yang dihiasi bunga dan kartu ucapan Valentine di lorong menuju pintu keluar.
Itu semacam simbol. Datanglah ke Bali, karena kami daerah pariwisata berkelas internasional. Dari mana pun asalmu di belahan bumi ini, silahkan menjadi dirimu sendiri di sini, sekaligus mengenal dan menghargai Bali.
Sementara di tempat lain di belahan negeri ini, ada kota yang menargetkan banyak kunjungan wisatawan mancanegara tetapi melarang perayaan semacam ini. Usah disebut pula soal usaha sebagian orangnya yang mempersulit pendirian rumah ibadah. Branding internasional dengan standar ‘lokal’.
Ada juga tempat lain, yang bangga dengan judul bandara internasional tetapi abai terhadap ucapan kecil semacam itu. Abai membuat tamu internasionalnya nyaman. Yang kemudian bisa dicek, bahwa kadang abai terhadap sampah di bandaranya, atau kebersihan toiletnya..
Sikap semacam itu, bukankah juga branding internasional dengan standar ‘lokal’? Apalagi, jangan terlalu berharap, lokal bertanda kutip itu memenuhi SKKNI apalagi ISO-9002.
Ah.. Kita memang sering begitu. Memasang keset kaki “Welcome” untuk turis sembari menempelkan tulisan “Awas ada anjing galak” untuk menakuti-nakuti tetangga.
Entah nanti kalau Paus benar-benar datang.
*Denpasar. Februari 2020.