Dibesarkan di dataran setinggi itu, kami lebih akrab dengan kopi dan padi ketimbang bawang dan kelapa. Padi, dengan filosofinya tentang kerendahan hati, tentang semakin berisi semakin merunduk.
Juga kopi, dengan filosofinya tentang jati diri. Bahwa tumbuh di tempat yang berbeda menjadikannya punya rasa dan karakter yang berbeda pula.
Kami agak asing memaknai kearifan bawang merah yang serupa misteri di balik Matryoshka, ‘boneka bersarang’ dari Rusia. Begitu pula dengan kelapa, tumbuhan yang dalam taksonomi KTP kerajaan Plantae diberi nama Cocos nucifera.
Tidak heran, mengupas kelapa akan jadi pekerjaan rumah yang tidak mudah saban ingin merasakan gurihnya opor ayam atau nikmatnya kolak singkong. Mengupas serabutnya sendiri akan butuh waktu bermenit-menit. Pun setelah itu, butuh tangan yang cekatan agar batoknya bisa terkelupas sempurna tanpa harus hancur dalam kepingan.
Belum lagi pekerjaan parut kelapa. Yang kadang mengorbankan kuku jempol dan telunjuk. Atau setelahnya, memeras parutannya menjadi santan. Betapa menikmati opor atau kolak yang enak itu melibatkan perangkat yang tidak sedikit dan butuh proses yang tidak sebentar. Ah..
Bertahun-tahun kemudian, saat telah merantau dan mengunjungi sekian tempat di belahan bumi tropis, ada hal menarik yang saya jumpai. Selalu ada kelapa dan komunitas Flobamora – Flores, Sumba, Timor, Alor, Rote, Sabu Raijua.
Kelapa lantas memunculkan pemaknaan tersendiri. Tentang filosofi merantau. Tentang mengembara ke setiap pesisir dan hidup. Bertumbuh dengan mengakar ke bawah dan menjulang ke atas. Menjadi semakin kokoh dari sekian jenis terpaan hidup.
Lalu setelahnya menjadi naungan, juga sandaran, atau sekedar pelepas dahaga untuk perantau berikutnya, yang baru saja melabuhkan kapalnya dari kampung halaman..
Kelapa. Yang hanyut tetapi tidak larut. Yang menjulang tetapi tidak terbang.
*Kuta. Februari 2020.