Hari itu, hari Minggu. Kami sama-sama tidak sedang bersiap-siap ke gereja untuk mengikuti perayaan ekaristi. Bukan karena takut dihujat karena melanggar imbauan Social Distance terkait Corona Covid-19.
Bukan. Cerita ini jauh terjadi sebelumnya; mengalir di saat kota-kota besar lain di Indonesia sudah mulai terinfeksi ‘virus Jakarta’, menutup jejalanan utama atas nama Car Free Day.
Ke sanalah kami menuju di pagi itu. Ke jalanan utama di bibir pantai Losari.
Jalanan, di kota yang sejak 1971 hingga 1999 secara resmi dikenal sebagai Ujung Pandang. Kota, yang menurut sahibul hikayat lebih dikenal dengan nama “Mangkassara”. Nama, yang konon berarti “Orang-orang yang memiliki sifat terbuka”.
Sayangnya, di pagi itu dompet saya memaksa diri untuk lebih tertutup. Rupiahnya seolah mengambil jarak, membuat social distance agar tak berpindah ke lain tangan.
Ya. Saat itu, lembaran yang tersisa tak akan cukup jika ada tambahan budget “jalan-jalan” plus “makan-makan”. Demikianlah itu menjadi satu di antara beberapa masa terberat dalam hidup. Sungguh!!
“Tak apa, Om. Saya yang bayar,” ajaknya ke salah satu rumah makan di tepian jalan.
Ah, ya. Kami terbiasa saling menyapa satu sama lain dengan sebutan “Om”. Bukan “Bro”. Tidak juga langsung menyebut nama.
Betapa “Om” menegaskan “umur”, mengingat di antara sesama rekan Pengurus Pusat, kami berdua termasuk berusia “Sepuh”.
Begitulah kami, kedua “Om”, masuk ke rumah makan khas Mangkassara itu. Menikmati hidangan sarapan yang juga khas Mangkassara.
Juga, mulai terbuka satu sama lain, menguak jejak perjalanan, bagaimana kami bisa sama-sama terdampar di sana, hingga hari itu.
Di sanalah Om Tomson mengurai jejak perjalanannya. Begitu membekas hingga hari ini, seolah tuturan babad di masa kecil yang diawali kata konon.
Konon, ia pernah bergulat hebat dengan niatnya meneruskan titian jenjang pendidikan. Konon, ia pernah berpetualang mengadu gurat garis tangan di beberapa lintasan garis peta Sumatera.
Konon, ia juga sempat coba-coba mencari peruntungan ke Pulau Dewata untuk beberapa waktu lamanya.
Untaian kisah itu semacam tawarikh yang dituturkan dalam satu jamuan sarapan pagi. Di sudut warung, di tepian Losari.
Tidak utuh, memang. Tetapi, cukup membuat saya menyimpan salute dan respect untuknya di kemudian hari.
Hingga hari ini.
Selamat ulang tahun, Tomson Sabungan Silalahi. Biarlah kita terus saling menyebut “Om”. Semoga itu adalah doa dan harapan, agar “Tanta” dan “Ponakan” disegerakan Tuhan.
*MamaKota. Di suatu senja di musim yang lalu.