Parade foto FaceApp yang kemarin itu berbuntut panjang. Selain deretan komentar dalam ragam tanggapan, Jakarta juga dilanda pawai hujan seharian.
Nah. Persis sebelum hujan, saya menyempatkan diri ke tukang pangkas rambut langganan. Di pertigaan ujung Salemba, kira-kira sepelemparan batu jauhnya dari markas besar teman-teman PMII.
Begitu sampai, A’a yang biasa merapikan rambut saya sudah tahu, meski separuh muka tertutup masker. Ia langsung mempersilahkan saya duduk, memakaikan kain perangkat pangkas, lalu memulai pelajaran kosa kata bahasa Sunda, sebagaimana biasanya.
Iya. Selain di ‘padepokan’ burjo dekat taman Genjing, di tempat itulah saya mulai belajar mengucapkan satu-dua kosa kata bahasa Sunda. Sejak lama. Kira-kira seumur merantau di Jakarta. Pertengahan 2007.
Lumayanlah. Sekali pangkas rambut, ada lima sampai sepuluh pengucapan kata yang diperbaiki. Kosa kata bahasa Sunda memang cukup sulit untuk lidah saya yang kelewat ‘Ruteng’. Ambil contoh kata ‘heureuy‘ (bercanda), ‘teureuy‘ (menelan), atau sekaliber ‘ngageuhgeuykeun‘ (menertawakan).
Belakangan, sudah ada ‘Google Tarjamah’, Google berbahasa Sunda. Itu sangat membantu untuk belajar melafalkan sejumlah kata yang sulitnya tingkat ‘hariweusweus‘. Tetapi, kehadiran Google tidak meniadakan percakapan kami saban liturgi pemangkasan.
Malah, kursus bahasa Sunda-nya kini di-upgrade. Dari sekadar belajar kata dan kalimat sederhana, ke belajar ungkapan atau lelucon semisal “ek sakumaha wae beuratna pagawean, bakalan gampang lamun hanteu dipigawean“, atau “seberat apapun pekerjaan, akan terasa ringan jika tidak dikerjakan”. Hahaha..
Hanya saja, seperti bahasa Manus (bahasa tempat asal mama), bahasa Sunda hanya cukup sampai di level ‘dimengerti’. Untuk diungkapkan atau nimbrung dalam percakapan, agak sulit. Masih belum berani. Masih malu-malu trenggiling. Masih belum sepiawai Viki Naki yang lagi naik daun itu.
Tak apa. Paham saja sudah cukup. Bukankah itu fondasi dasar komunikasi? Lagipula, pemahaman semacam itu akan sangat berguna jika kebetulan berada di antara sekelompok orang yang mempercakapkan dirimu di depan mata, karena beranggapan kamu tak akan paham apa-apa. Trust me, it works!
Begitulah. Betapapun, berpura-pura bodoh itu lebih baik daripada berpura-pura pintar. Di sisi lain, seperti kata Mother Theresa, ‘If you judge people, you have no time to love them‘.*